Selasa, 07 Juni 2016

[PUISI] Ramadhan

1

Ramadhan Ku

Teringat saat masih kecil,
Ayah dan Ibu mengajarkan ku tuk bangun tengah malam,
Dengan malas dan rasa kantuk yang menggelayutiku
Ayah menuntunku untuk bersantap sahur bersama keluarga.
Sementara itu,
Ibu menyajikan hidangan hallalan toyyiban
Diatas piring-piring suci penuh harapan
Harapan akan ibadah puasa yang diterima oleh-Nya.
Selang beberapa menit sesudahnya,
Ayah memimpin kita untuk berdo’a bersama,
Dengan penuh rasa syukur kami memohon
Atas segala nikmat dan ridho-Nya.
Ramadhan ku..
Kini aku telah dewasa,
Sungguh waktu bejalan begitu cepatnya,
Potongan-potongan kisah akan perjalanan mu
Tak pernah aku lupakan sampai saat ini.
Ramadhan ku..
Aku menyambutmu seperti aku menyambut pintu surga-Nya
Perkenankanlah aku tuk merangkulmu disetiap hembus nafasku,
Untuk senantiasa menjadi hamba yang tak pernah lupa akan kewajiban-Nya,
Untuk menjadi manusia yang pantas menempati surga-Nya.
Puisi Islami Tentang Ramadhan Untuk Menyambut Bulan Suci Ramadhan

Tarawih

Riang gembira penuh suka cita,
Dari balita sampai yang tua,
Bersiap diri menuju rumah-Nya,
Untuk menunaikan tarawih bersama.
Rasa lapar dan dahaga telah terbayar
Mari berbondong untuk mengejar
Untuk bekal esok di alam mahsyar
Jangan hanya di awal ramadhan kita giat
Jangan hanya di akhir pula kita bersemangat
Karena beribadah tidak mengenal waktu dan tempat

[CERPEN] Tuhan Sahabatku

0

“Sejujurnya, aku kerap berbicara sendiri, tertawa sendiri dan tersenyum sendiri. Kau tahu? Itu sudah jadi kebiasaanku. Apalagi, aku kan tak punya banyak kawan bicara,” begitu jelasku pada seorang gadis yang kerap ku panggil Kak Vio.
Aku baru mengenalnya sekitar satu bulan yang lalu. Dia gadis bertipe pendengar. Apapun yang aku ceritakan, pasti dia dengan senang hati mendengarnya, meskipun aku belum pernah bertatap muka dengannya. Mendengar penjelasanku itu, Kak Vio tertawa dan menganggap aku gila. Aku memang sudah tak asing lagi dengan kata gila, jadi aku hanya membalasnya dengan senyuman. Tapi, aku sebenarnya tidak gila. Ini nyata. Jika aku tidak punya teman bicara, dan aku merasa kesepian, pasti mulutku seketika menyapa seseorang di sampingku dan membahas topik yang aneh.
Suatu malam, ketika aku kelaparan, aku meminta bagian makananku kepada Ibu. Naas, makanan bagianku sudah dihabiskan oleh pihak lain, sedangkan makanan bagian milik Kakakku masih disimpan baik-baik oleh Ibu. Aku seperti hendak menangis, perih betul hati ini rasanya. Aku bergegas ke kamar mandi dan menitikkan air mata.
“Alah, tak usah menangislah. Sudah.. Sudah,” tiba-tiba mulutku berkata begitu.
“Tapi, Tuhan. Aku sudah berkali-kali diperlakukan tidak adil. Apa Tuhan tak mengerti?” begitu hatiku menjawab.
“Aku tahu. Tapi, apa yang akan kita perbuat selain diam mengalah? Memendam amarah? Itu sama saja menambah beban hidupmu. Menyesalinya? Itu sama saja menambah pikiran di kepalamu. Ayo, makan saja apa yang ada di meja itu,” begitu mulutku berkata.
Lalu, aku seperti ditarik ke luar dari kamar mandi menuju meja makan dan menyantap perkedel yang tersaji di balik tudung saji. Aku masih tak bisa tersenyum. Apalagi melihat Kakakku memakan bagiannya yang disimpan aman oleh Ibu. Aku memandangnya sinis. Tapi, aku mengingat kata-kata tadi, lalu aku melanjutkan makan malam dengan apa adanya. Selepas aku menghabiskan makananku, Ibu menawarkanku.
“Mau ku buatkan sesuatu?”
“Tidak. Sudah terlambat. Lihat. Nasi sudah sampai di perut. Tak ada gunanya. Sudah cukup,” begitu jawabku sambil menenteng piring ke tempat cucian, lalu aku bergegas masuk kamar. Mengunci diri dan duduk tenang di depan kipas angin yang berputar-putar. Aku diam sejenak. Lalu, aku mulai bertanya.
“Kenapa di saat aku sendiri, dan sedang menangis atau banyak masalah, mulutku selalu terdorong mengatakan kata-kata penenang? Padahal, aku tak memikirkan sebelumnya dan aku tak merencanakannya. Bahkan, ketika aku sendirian dan tak punya teman, aku kerap terdorong untuk pergi ke terus rumah di bagian tingkat dan berbicara sendiri di sana? Atau kadang menangis sepuas-puasnya di sana? Aku berbicara dengan makhluk tak kasat mata, aku seperti orang pemilik indra keenam. Tapi, sungguh semua itu salah. Aku mungkin anak penyendiri. Dan aku tahu siapa yang selama ini ku ajak bicara, menyapaku, menenangkanku tadi saat ketidakadilan terjadi. Itu Tuhan. Itu bukan makhluk halus. Aku yakin itu Tuhan.” Seketika, terukirlah seberkas senyuman di bibirku.
Aku mulai berpikir positif. Aku merasa bangga dengan kebiasaanku berbicara sendiri saat suasana sepi. Karena, tak semua orang mau melakukan itu. Mereka menganggap itu gila. Bagiku itu anugerah. Sebab, aku bisa berbicara langsung dengan Tuhan. Dia seperti ada dan menguasai mulut dan hatiku. Orang lain mungkin dapat berbicara dengan Tuhan lewat doa. Berbeda denganku, aku mampu berbicara dengannya yang selalu ada di sampingku dan di tiap langkah hidupku.
Atas semua peristiwa yang mendukakan hatiku berangsur-angsur terlupakan, aku tak lagi menyesali itu. Mungkin, Sahabatkulah penetralisir ini semua. Tak lagi salah, sahabat terbaik di seluruh dunia, baik nyata maupun gaib, hanya Tuhan saja. Tak selamanya manusia ada, tak selamanya sahabat setia, tapi selamanya Tuhan ada dan setia di hidupku dan kamu.
Cerpen Karangan: Debora Jessica Desideria Tanya

[CERPEN] Hijrah (Part 2)

0

Aku berharap ini hanyalah mimpi. Mimpi buruk dan aku akan terbangun. Depresiku memuncak. Aku tenggelam dalam air mata hingga terlelap karena kelelahan. Paginya, aku berharap tidak ke sekolah. Tapi, gedoran pintu dari ayahku membuatku terbangun. Aku tidak mau pintu itu rusak. Akhirnya aku membukanya dan ia menarik lenganku dengan gusar ke kamar mandi, menyuruhku mandi dan bersiap ke sekolah. Hari ini, ayah untuk pertama kalinya mengantarku ke sekolah. Walaupun di jalan, aku disesakkan dengan kemarahannya. Tapi, angin apa yang membuatnya mengingatku, aku tak tahu.
Masuk ke dalam kelas seperti neraka. Ketiga teman geng-ku terus saja mengusikku dan menyebarkan fitnah bahwa aku adalah seorang pencuri. Hari ini sangat melelahkan bagiku. Minggu depan juga sudah Ujian Nasional. Sepulang sekolah, ketiga ‘teman’ku itu tidak lupa menyenggol dan menamparku saat semua orang sudah ke luar. Lalu mereka tertawa sambil berlalu. Aku berjalan gontai ke luar kelas. Hal itu menjadi makanan harianku hingga usai UN dan libur panjang dimulai sebelum kelulusan. Setelah kelulusan, aku baru benar-benar mengenalnya.
Masa SMA-ku ditutup dengan sebuah insiden yang menyedihkan. Rasanya, hidupku dari awal hingga kini memang menyedihkan. Cape, jengkel, geram, kecewa, sedih, lara, seakan menjadi sahabat setia yang tak akan tergantikan. Bulan depan sudah pengumuman kelulusan. Mengetahui aku akan libur panjang, ayahku yang tadinya tidak pernah kelihatan, akan mengantarku ke rumah tante hari ini. Sepertinya, tanteku yang memintanya dan entah karena sudah putus asa terhadapku, ayahku mengizinkannya. Supaya aku belajar juga, katanya.
Nuansa di rumah tanteku sangat berbeda, beberapa sepupuku juga sempat tinggal di sini. Aku sebenarnya cukup sering juga ke sini saat masih kecil dan jujur saja aku sangat suka berada di sini. Tak ada keriuhan, tak ada kegeraman. Tanteku sangat pengertian dan aku akan sangat senang berada di sini. Tapi, watak yang ku bawa sejak kecil tak semudah itu berubah. Aku sering membuat sepupuku yang masih kecil menangis, dan berbicara kepada tanteku dengan cukup kasar. Tapi, tanteku akan menjawab dengan lembut. Munafik! Saat itu, itulah gambaranku tentang tanteku. Bagiku yang tidak pernah merasakan ketulusan, kebaikan seseorang akan membuatku merasa bahwa mereka adalah orang-orang munafik seperti teman geng-ku. Sebab, aku baru saja merasakan insiden memuakkan yang menambah temperamenku.
Suatu hari, karena ingin mengurus sesuatu di sekolah, aku memutuskan untuk ke sekolah. Mumpung di sekolah, jalan-jalan sebentar saja, Batinku. Aku pun berjalan ke arah sanggar tari. Semenjak insiden itu, aku tidak pernah ke sanggar lagi. Aku tidak tahan melihat wajah orang-orang itu. Saat mendekat, aku mendengar isak tangis. Bukannya sekarang sedang jam pelajaran? Kenapa ada orang di sini? Sedikit penasaran, aku mengintip. Veni?!!! Sebenarnya aku mengutuk di dalam hati. Biarin aja dia nangis! Fitnah orang, menghancurkan hidup orang! Tapi, terlambat, dia menyadari keberadaanku.
“Jre?” suaranya parau, sepertinya dia menangis sangat lama.
“Apa?!” Jawabku ketus tanpa ada rasa kasihan.
“Jre, maaf.. maaf!” permintaan maafnya menusuk hatiku. Aku diam.
“Jre.. tolong dengar,”
Akhirnya, aku menahan egoku dan mendekatinya. Ia akhirnya menceritakan semuanya padaku. Bahwa dompetku, dia, Rita, dan Deanlah yang mengambilnya saat aku sedang lengah. Dia tidak bisa apa-apa karena pacarnya adalah pencandu dan dia membutuhkan uang. Mereka sudah berpacaran terlalu jauh sehingga membuatnya tidak bisa meninggalkan pacarnya. Hidupnya tidak lebih sama denganku. Tapi, ternyata dia hamil. Untungnya kami sudah akan mendengarkan hasil kelulusan pekan depan.
“Terus kenapa kamu memfitnahku?” tanyaku setelah mendengar ceritanya. Aku tidak bergeming dan juga tidak mengasihaninya.
“Soalnya, kami jengkel banget sama kamu. Kamu sama dengan kami, tapi, untuk hal-hal yang sangat kotor kamu menolak. Kamu kayak mandang kami rendah hanya karena kamu lebih cantik dan kaya..,” belum sempat dia melanjutkan kata-katanya, aku menamparnya.
“Kamu pikir aku lega setelah kamu minta maaf? Mati saja sana!!”
Setelah mengatakannya, aku pun berlalu, menambah luka pada hatinya dan hatiku. Lagi pula, mana Dean dan Rita? Daripada cerita ke aku, bukankah lebih baik cerita ke mereka. Aku pulang ke rumah tante. Aku tidak menyangka akan bertemu dengan Arifah, gadis manis yang berjilbab terjulur itu. Ya, aku ingat namanya saat sedikit bertanya di kantin waktu pertama kali melihatnya dan mengetahui juga kami seangkatan.
“Arifah?” suaraku terpekik.
“Eh, ehm? Oh, Hijrah ya? Kamu kenal aku rupanya,” Ia sedikit kebingungan dan sulit mengingatku, tetapi ia akhirnya tersenyum manis setelah mengingat namaku. Tanteku masuk ke ruang tamu membawa 2 cangkir teh.
“Oh, iya, Tante lupa kalau Arifah ternyata satu sekolah sama kamu!” tanteku memecah suasana.
“Iya, Tante. Kami satu sekolah cuman nggak satu kelas. Hijrah mendaftar ke universitas mana?” Tanya Arifah dengan senyum yang lebar.
“UNHAS,” jawabku pendek.
“Oh, sama dong! Nanti kita mendaftar dan ngurus sama-sama aja ya!” Arifah memegang tanganku sambil tersenyum. Lagi-lagi tersenyum, apakah hidupnya sebegitu mudahnya? Aku merasa kesal. “Lihat nanti deh,” jawabku sambil membuang muka.
Percakapan pertamaku dengannya ternyata bukanlah yang terakhir. Setelah ia pulang, tanteku akhirnya menceritakan perihal Arifah kepadaku. Entah mengapa. Aku baru tahu, ternyata Arifah adalah tetangga kami tapi tetangga yang cukup jauh. Orangtuanya meninggalkan Arifah dan 4 orang adiknya saat ia berada di bangku SMA. Sejak saat itu, ia menjadi tulang punggung keluarga. Kata tanteku, orangtuanya juga broken home dan mengalami perceraian saat ia masih kecil. Ia tinggal dengan ibunya tetapi karena kekurangan uang, ibunya juga meninggalkannya dengan alasan mau bekerja. Keluarga ibunya juga miskin dan sangat jarang melihat-lihat keadaan Arifah dan adik-adiknya. Ternyata, tantekulah yang membiayai sekolah Arifah dan adik-adiknya tetapi Arifah ingin membalasnya, makanya ia ke rumah tanteku kemarin menyicil uang yang ia rasa pinjaman. Aku terdiam. Termangu. Tanteku tersenyum.
“Sebentar lagi sore, ikut sama Tante ya, pengajian,” Tanteku tersenyum penuh misteri. Setelah mendengar kisah Arifah, aku tidak bisa membencinya, dan juga tidak bisa menolak ajakan tanteku. Arifah juga ada katanya, membuatku tak berkutik.
Sore itu, aku ke tempat pengajian tanteku dan benar Arifah juga datang. Tapi, ternyata Arifahlah yang menjadi ustadzahnya. Aku merasa cukup malu padanya, tapi ia tersenyum hangat menyisakan kegetiran aneh dalam hatiku. Aku menyesal karena pertemuan awal kami hanya sekedar pertemuan saja tanpa ada tautan waktu SMA dulu. Sore itu pula, aku merasa hatiku yang ditutup oleh kegelapan seakan diguyur oleh hujan ketenangan dan kebahagiaan. Air mataku menetes. Lenyap sudah pikiran negatifku terhadap dunia ini, dan juga terhadap tanteku.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (Terjemahan Surah Al-Baqarah: 286)
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik,” (Terjemahan Surah Al-Hadid: 16),”
Saat itulah aku menyadari bahwa gelap dan menyedihkannya hidupku bukanlah disebabkan oleh masalah-masalah beruntun yang menimpaku, tetapi karena sempitnya hatiku menghadapi masalah-masalah itu. Aku tidak tahu harus berlari ke mana saat itu, dan ternyata saat itu, pintu Allah sebenarnya terbuka lebar untukku. Allah sebenarnya telah memperkenalkanku dengan mereka saat pertama kali aku melihat mereka, tetapi aku menutup mata dan tetap tenggelam dengan zona nyaman yang ku buat sendiri. “Zona nyaman,” yang sebenarnya hanyalah menambah kerasnya dan dalamnya sakit hatiku. Aku menyimak dengan seksama penuturan Arifah yang begitu dalam dan lembut yang menghancurkan kerasnya hatiku setitik demi setitik.
Sepulang pengajian, aku berbicara banyak dengannya dan mulai rutin mengikuti pengajian bersama tanteku. Walaupun bersama ibu-ibu, aku tetap merasa nyaman. Kata Arifah kalau kita diterima di kampus, kajian seperti ini juga ada khusus untuk mahasiswa. Akhirnya, kami terus bersama hingga masa SNMPTN berakhir dan Alhamdulillah kami berdua lulus di fakultas yang kami harapkan. Aku lulus di fakultas kedokteran, ia lulus di fakultas Sastra Arab. Mungkin karena semenjak itu, aku benar-benar mulai rajin belajar. Hari-hariku berubah setelah hari itu. Aku yang tidak pernah menyentuh mushaf Al-Qur’an mulai membuka dan berusaha membacanya.
Arifah dengan senang hati mengajarkanku walaupun kesibukan dan jadwal kami berseberangan tapi ia akan datang ke rumah tanteku untuk mengajarku. Aku mulai rajin salat, bukan hanya salat wajib tapi juga sunnah. Aku mulai mengerti tentang Islam dan kebencianku terhadap orangtuaku pun sedikit demi sedikit memudar. Semenjak tinggal di rumah tante, tiap akhir pekan mereka akan menjengukku. Kata-kata mereka masih ketus dan masih sering memarahiku, tapi, mengingat Arifah, aku masih bersyukur aku masih bersama mereka. Mungkin, mereka juga sudah merasakan perubahan pada diriku, sedikit-demi-sedikit perbincangan kami pun mulai ‘normal’.
Memang membutuhkan waktu yang lama, bahkan sampai hari kelulusanku dan setelah menjalani koAs baru aku merasakan kehidupan “normal,” bersama orangtuaku. Semenjak mengenal Islam, aku sudah sering memanggil “ibu,” dan “ayah,” serta berusaha tersenyum dan mengajak mereka bercanda. Aku bersyukur kepada Allah karena telah menunjukkanku jalan cahaya ini. Bukan hanya mengubahku, tetapi juga mengubah lingkunganku. Veni ku ketahui telah meninggal bunuh diri sepekan setelah pengumuman kelulusan. Aku merasa bersalah sebenarnya, tapi kini aku hanya bisa mendoakan kebaikan untuknya. Sedangkan 2 teman gengku yang lain, aku tidak tahu keberadaannya, tapi semoga Allah juga memberikan mereka hidayah.
Hijrah, itu namaku, dan itu pula jalan yang telah mengubahku. Dari gelap dan sempitnya dunia menuju cahaya dan luasnya samudera kebahagiaan dalam Islam. Semoga Allah memberiku keistiqomahan. Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”
Cerpen Karangan: Cerita Za

[CERPEN] Hijrah (Part 1)

0

Orang-orang bilang, masa SMA adalah masa-masa keemasan. Masa itu pula, orang-orang akan memilih lingkungan mana yang sreg dengan hatinya dan menjadikannya zona nyaman. Ya, mungkin begitu. Tetapi bagiku, masa-masa SMA tidaklah sebegitu “Wah,” tetapi menjadi awal pertemuan yang cukup ku sesalkan.
Masa kanak-kanak.
“Hijrah, Nak?” Ibu guru membangunkanku yang terlelap di meja saat jam pelajaran.
“Kamu sakit, Nak?” lanjutnya setelah melihatku mengucek-ngucek mata.
“Tidak, Bu,” Jawabku singkat.
“Ya, sudah, kamu ke UKS, bisa?”
Tanpa menjawab, aku langsung berlalu ke luar kelas seperti yang ibu guru minta. Tapi, aku tidak ke UKS di lantai dasar sekolah, aku pergi ke lantai paling atas dan mencari tempat sepi. Aku ingin memejamkan mata, tetapi bayangan-bayangan ketakutan menyeruak dari ingatanku semalam. Namaku, Hijrah. Saat ini umurku 7 tahun 5 bulan dan baru 3 bulan lalu aku masuk Sekolah Dasar di kota kelahiranku. Aku tinggal di daerah pantai di Kota Makassar, sebuah kota yang cukup ramai oleh turis dan juga kendaraan, terutama jika hari Minggu, orang-orang sangat banyak berada di sekitar pantai. Keluargaku cukup beruang, ibuku adalah seorang dokter dan ayahku adalah seorang pengusaha. Aku tinggal di sebuah rumah yang bisa dibilang cukup besar dan menempuh pendidikan di sekolah unggulan di kotaku.
Tapi, dengan semua kenyataan yang seakan indah itu, hidupku sangat menyedihkan. Aku jarang bersama ayah dan ibu. Sekalinya mereka bersama di rumah, yang ada hanya pertengkaran hebat. Saat itu terjadi, aku hanya akan bersembunyi di sela-sela pojok rumah. Sepertinya, teman pun bukanlah sesuatu hal yang baik untukku. Bermain bagi normalnya anak-anak lain, tidaklah ada dalam pikiranku. Aku membenci mereka yang bisa bermain dengan riang di sekitar rumahku.
Hingga, masa itu tiba. Kemarin, pamanku datang. Seorang paman yang sedang sakit, kata mereka, dan akan tinggal bersama kami. Di situlah masa-masa terburukku dimulai. Paman itu memiliki penyakit kulit tetapi masih bisa berjalan-jalan sesekali, dan tiap malam ia akan berteriak-teriak dengan keras. Hal itu membuatku tidak bisa tidur. Aku selalu teringat pertengkaran hebat, lengkingan suara ibu, dan teriakan paman itu. Akhirnya, aku hanya bisa tidur di kelas sebelum Bu Guru membangunkanku. Aku tidak suka di UKS, aku tidak suka bau obat yang seperti di rumah sakit. Karena dulu ibu sering membawaku ke sana dan aku akan melihat hal-hal yang menyedihkan.
Riing.. riing.. riing. Bel pulang sekolah membangunkanku. Sebenarnya aku malas pulang, tapi di sekolah pun aku merasa kurang nyaman, melihat anak-anak lain akan berlarian ke luar dengan tawa yang menjengkelkan. Aku kembali ke kelas untuk mengambil tasku, ternyata Bu Guru masih di sana.
“Hijrah, kamu tidak ke UKS, ya?” Tanya ibu guru lembut. Aku diam.
“Kenapa, Hijrah? Kamu ada yang jemput?” lanjutnya. Aku menggeleng.
“Mau Ibu antar pulang?” Aku membelalak lalu menggeleng.
“Tidak, Bu, tidak usah. Aku pulang dulu, Bu,” jawabku sambil berlalu.
Untuk pulang, aku menggunakan becak. Aku masuk ke rumah dan mencari pembantu yang biasanya datang dari pagi hingga sore.
“Bibi! Bibi!” Panggilku.
“BERISIK!!” Tiba-tiba suara paman mengagetkanku, ia berada di belakangku.
“Mana Bibi?” tanyaku perlahan.
“Sudah MATI mungkin! Jangan Berisik! Awas kalau berisik!” Teriaknya dan berlalu kembali ke kamarnya meninggalkanku dalam kondisi kesal. Baru aku tahu, Bibi sedang pulang kampung.
Hari-hari berikutnya sama berlalu sama seperti itu, sepulang sekolah, pamanku akan marah-marah padaku sampai memukulku yang sedang bermain jika aku terlampau berisik menurutnya. Malamnya, orangtuaku yang akan marah-marah entah karena aku, atau karena mereka sedang bertengkar, lalu pamanku akan berteriak-teriak lagi. Tidak jarang, ia mencekikku tetapi Bibi akan datang. Syukurlah Bibi hanya pulang sehari waktu itu. Akhirnya, di sekolah, aku akan selalu mem-bully beberapa orang teman sebagai pelampiasan. Aku benci dan geram.
Masa SMA, aku bertemu hal berbeda.
Bulan September 2008, aku akhirnya diterima di sebuah SMA yang terkenal dengan hedonismenya. Ya, tidak heran sebab orangtuaku kaya. Masuk ke sekolah ini, dengan wajah yang bisa dibilang cantik, aku menarik perhatian beberapa kakak kelas, juga teman seangkatan. Aku memutuskan masuk ekskul tari dan bergabung bersama teman-teman yang suka hura-hura. Bisa dibilang, inilah zona nyamanku. Zona nyaman untuk seorang bully sepertiku dan tidak perlu berpura-pura. Hari-hari aku isi dengan have fun. Gonta-ganti pacar hanya untuk mendapatkan tukang antar.
Saat kelas 5 SD, paman yang aku ceritakan telah meninggal sehingga rutinitas rumah kembali. Dan sejak SMP, aku sudah mulai terbiasa membangkang kepada kedua orangtuaku. Saat masuk SMA, orangtuaku memasukkanku ke tempat les dengan harapan nilaiku yang anjlok bisa berubah tapi sayangnya aku tidak pernah menghadiri kelasnya. Biar saja, pikirku. Toh mereka juga tidak tahu. Daripada ke tempat les, aku lebih memilih ke mall hanya untuk nongkrong bersama teman-teman atau pacarku hingga malam. Saat pulang ke rumah, ternyata ibu masih menungguku dengan wajah masam.
“Dari mana?!” Suaranya meninggi.
“Dari tempat les!” Aku menyangkal dengan nada yang tidak kalah tinggi.
“Tempat les mana? Saya barusan dari sana sama Tantemu! FO-nya bilang kau tidak pernah masuk!”
“FO-nya tidak tahu saya yang mana!”
“Saya lihat absenmu! Hanya satu yang namanya sama dengan namamu!”
“Nda tahu deh! Saya Cape!” aku menutup jawaban itu dan langsung berlari ke kamar di lantai 2, sedang ibu masih saja berteriak-teriak marah di lantai bawah.
Aku melempar tasku, membuang diri di atas tempat tidur. Tatapanku gamang, pikiranku melayang. Aku sudah lupa, kapan terakhir kali aku memanggil wanita itu ‘ibu’. Atau kapan aku tertawa bersamanya. Yang aku tahu, aku lelah dan hanya ingin membenamkan diriku dalam hura-hura. Tapi, bagaimanapun, aku tidak memakai nark*ba atau free s*x. Setidaknya untuk diriku, aku masih tahu batas. Walaupun, hal seperti itu tidaklah terlalu asing bagiku.
Tahun kedua aku di SMA, rasanya dunia ini memang hanya berputar-putar di tempat dan kondisi yang sama. Bagiku, dunia hanyalah pilihan, “Jika kau tidak ingin terbunuh oleh rasa sakit, hura-hura adalah jalan menemukan kesenangan,” Walaupun aku tahu bahwa agamaku adalah Islam, aku sama sekali tidak menyentuh pemahaman tentangnya. Dunia ini sempit dalam pandanganku sehingga menyempitkan pula pola pikirku.
Suatu waktu, aku melihat mereka, entahlah antara senior, junior atau seangkatan denganku. Mereka berbeda, aku jarang melihat gadis dengan jilbab yang menjulur panjang menutupi dada ke bawah. Wajar aku jarang melihat mereka, sekolah ini cukup besar dan bagian yang sering aku lalui hanyalah kelas dan kantin bersama teman segeng-ku. Tapi, aku tidak begitu peduli. Mereka saling bercakap-cakap dan tersenyum. Jujur saja, ada nuansa berbeda yang mereka pancarkan yang seakan menunjukkan ada dunia berbeda di luar sana. Tapi, seperti yang ku bilang, aku sudah menemukan zona nyamanku.
Tahun berikutnya hingga menjelang kelulusanku, aku tetap berada di lingkungan yang sama. Menari (dance), hura-hura, gonta-ganti pacar mencari cinta, hanya bertengkar dengan orangtuaku saja yang sudah agak jarang karena aku akan memilih pulang larut. Tapi, masa-masa terakhir ini, kehadiran ‘mereka’ yang aku ceritakan sebelumnya, juga telah mengambil bagian dari perhatianku walaupun bukan perhatian yang besar. Setidaknya, aku tahu bahwa mereka adalah anak-anak yang tergabung di rohis. Aku juga baru tahu, bahwa rohis itu adalah ekskul yang bergerak dalam bidang keagamaan. Tapi, duniaku dan mereka berbeda sehingga aku merasa malas untuk berinteraksi dengan mereka.
Menjelang hari kelulusan, sebuah insiden membuka mataku tentang arti sebuah pertemanan.
Sebuah Insiden.
Hari itu, aku pergi ke mall bersama dengan teman segeng-ku seperti biasanya. Kami bercengkerama dan bersenang-senang, berbelanja, dan ke karaoke sampai larut seperti biasanya. Lalu, aku pulang. Tiba di rumah, aku langsung ke kamar dan membongkar isi tasku untuk ku masukkan ke tas lain yang akan ku gunakan besok. Dompetku hilang. Aku mencari-carinya, tapi tak dapat ku temukan. Aku tidak perlu membayar saat pulang karena teman-temanku yang mengantarku pulang. Aku kelimpungan. Ini masih awal-awal bulan, sedangkan ibuku hanya mentransferkan uang di tanggal 1 tiap bulan. Oh tunggu, bukankah aku hanya mengambil seperempat saja dari rekeningku? Mudah-mudahan besok aku ke Bank, uang di rekeningku masih aman.
Esoknya aku tidak ke sekolah, aku pergi ke Bank untuk melaporkan ATM-ku yang kecurian. Tapi, ternyata uang dalam rekening itu sudah diambil semua dan hanya menyisakan nominal minimum untuk Bank. Kakiku lemas. Bagaimana aku akan hidup sebulan ini? Oh, tunggu, mungkin aku bisa pinjam dulu dengan Veni, Rita, atau Dean. Pikirku. Aku menelepon mereka di jam pulang sekolah meminta mereka berbaik hati meminjamiku uang setelah ku ceritakan kejadian itu. Mereka bersedia. Syukurlah, aku bernapas lega. Esok harinya, aku ke sekolah dan berkumpul kembali bersama gengku seperti biasa. Kali ini mereka membayarkanku makan dan meminjamiku uang untuk pulang dan pergi sekolah. Kami akan bersenang-senang sepulang sekolah masih seperti biasa. Tapi, hari itu ada yang berbeda dari percakapan kami.
“Eh, jre (panggilan mereka untukku), mau kerja sambilan gak? kan kamu baru aja kehilangan nih.. kerjaannya mudah banget tapi kamu bisa dapet uang nominalnya gede!” Tanya Veni.
“Eh? Masa sih? Kerjaan apaan?”
“Gampang banget kok.. cuman nemenin om-om aja jadi pacar bayaran gitu!” Rita dan Dean juga tampak antusias tapi perasaanku tidak enak.
“Ehm, gimana ya? Nggak usah deh. Toh bulan depan juga Ibuku bakal transfer juga jadi aku udah bisa bayar utang ke kalian kok,” jawabku.
“Yaelah, nggak usah sok naif, Jre,” Mimik ketiga teman gengku itu berubah.
“Bukannya sok naif, tapi aku nggak mau ikut-ikutan gituan. Ehm, aku ke toilet dulu yah,” Aku mencoba melarikan diri dari pembicaraan itu. Apa-apaan sih mereka?
Saat kembali, mereka juga sudah kembali seperti biasa dan tidak lagi menyinggung masalah itu. Sudah pukul 20.00 WITA, kami ke tempat karaoke seperti biasa. Tiba-tiba,
“Eh, gimana nih?!” Veni tampak mencari-cari sesuatu di dalam tasnya.
“Kenapa, Ven?” Tanya kami bertiga serempak.
“Dompetku hilang!” kata Veni dengan nada yang tinggi.
“Kok bisa? Kamu tadi ke mana?”
“Nggak ke mana-mana, kita sama-sama terus kok,” jawab Veni.
“Ah, nggak tuh! Tadi waktu nge-pas baju, kamu jalannya sama Hijre!” ucap Rita.
Serempak mereka bertiga melihat ke arahku dan memintaku membuka tas. Aku kebingungan. Maksudnya apa? Tapi, ternyata keberadaan dompet Veni di tasku menjawab kebingunganku.
“Aku nggak ngambil kok!” sangkalku karena memang aku tak mengambilnya.
“Jangan karena dompet kamu hilang, dompetku kamu ambil juga, Jre!” kata Veni ketus.
“Iya, udah gitu mandang kita rendah lagi!” Rita menimpali.
“Emang kurang baik apa sih kita Jre? Kita udah minjemin uang lagi!” Dean juga menambah perihnya kata-kata mereka.
“Kamu tahu nggak isinya dompetku berapa?!”
“Untung aku sadar sekarang!”
Berada dalam kondisi seperti itu, aku tidak sadar berlari. Apa yang terjadi denganku? Aku pulang dalam keadaan berantakan, air mata terus saja mengalir di pipiku. Saat membuka rumah, ternyata ibu dan ayahku berada di depan pintu. Mereka menatapku geram.
“Pakaian macam apa itu?! Mau jadi P*K kamu?” Ayahku pertama kali mengeluarkan suara.
“Itu karena kamu! Tidak pernah ngajarin dia jadinya begitu!” Ayahku menimpali kepada ibuku.
“Saya? Eh, Kamu tuh yang nggak ngajar apa-apa!” Ibuku geram. Aku terduduk.
“DIAMM!!!” teriakku menggema di seluruh rumah.
“Berani kamu teriak?!” Ayah menamparku. Aku hanya bisa berlari ke kamarku.
Bersambung
Cerpen Karangan: Cerita Za

[CERPEN] Ku Titipkan Rindu pada Surah Ar-Rohman

0


Lantunan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an terdengar merdu di telinga. Bagai melodi-melodi indah yang tersusun rapi. Maghrib yang hening, membuat suasana menjadi khusyu’. Syahida. Suara indah itu, ke luar dari bibir mungil Syahida, anak dari seorang tukang bubur ayam keliling. Dia dilahirkan dan dididik menjadi anak yang religius. Sudah biasanya Syahida membaca Al-Qur’an sehabis salat maghrib, yang pasti ia baca adalah surah Ar-Rohman. Baginya surah Ar-Rohman adalah surah yang mengingatkannya pada Ibunya. Ibu Syahida telah lama meninggal, kira-kira sudah empat tahun terakhir. Saat Syahida kecil, setelah Syahida mengaji, Ibunya sering membaca surah Ar-Rohman setelah maghrib, Syahida sering berada di pangkuan Ibunya hingga Syahida terlelap tidur.
“Fabi ayyi aa laa irobbikumaa tukadz dzibaan, tabaarokas murobbika dzil jalaa li wal ikrom. Shodaqallaahul ‘adziim.” Syahida menutup Al-Qur’annya lalu mengecupnya, ia meletakkan Al-Qur’an di atas almari bajunya. Melepas mukena yang ia kenakan sejak salat maghrib tadi.
“Ayah?” Panggil Syahida sambil berjalan ke arah dapur mencari ayahnya. Dia dapati Pak Mahmud, ayahnya yang sedang membuat nasi goreng kesukaan Syahida.
“Ayah, buat nasi goreng ya?” Tanya Syahida, mata sipit yang ia miliki dipejamkannya ia mencium aroma nasi goreng buatan ayahnya itu tercium lezat memang.
“Iya, untuk makan malam kita. Sudah selesai baca Qur’an kamu, Nak?” Tanya Pak Mahmud tangannya sibuk membolak-balik nasi goreng yang ada di wajan.
“Sudah, Yah.” Tangan Syahida melingkar pada perut Ayahnya. “Yah, besok Syahida ikut jualan bubur, ya, Syahida pengen nemenin Ayah, mumpung Syahida libur.”
“Beneran?” Tanya Ayah. Syahida mengangguk.
Keesokan harinya. Suara adzan subuh mulai terdengar, Pak Mahmud telah sibuk mempersiapkan bubur ayam yang akan ia jual. Pak Mahmud berjalan ke kamar Syahida. Syahida masih terlelap tidur, matanya masih tertutup rapat. “Syahida, bangun Nak, sudah subuh, salat subuh jama’ah yuk,” Syahida mengusap-usap matanya, memaksa untuk membuka matanya. Syahida berjalan untuk mengambil air wudlu. Mereka pun salat berjama’ah. Usai berdoa, Syahida menyandarkan kepalanya di pundak Ayahnya.
“Ayah, besok sore kita ke makam Ibu, ya, Syahida kangen sama Ibu.” Ujar Syahida, air matanya mulai membumbung di mata. “Iya, baca surah kesukaanmu itu, Ayah juga akan membacanya. Baca sama-sama ya.”
“Ayah juga kangen sama Ibu?”
“Ayah kangeeenn sekali sama Ibu, seperti Syahida kangen sama Ibu.”
Syahida tersenyum, pipinya basah terkena air matanya. “Ya Allah, aku titipkan rinduku kepada-Mu untuk Ibu melalui surah Ar-Rohman. Ya Allah jaga Ibu, jangan biarkan Ibu sedih, Syahida kangen banget sama Ibu, kirimkan salam Syahida dan Ayah untuk Ibu, Ya Allah.” Celetuk Syahida.
Ayah tersenyum mengusap-usap punggung Syahida. Memeluknya. Lalu membaca surah Ar-Rohman bersama. “Ar-Rohman, ‘al lamal quraan, kholaqol insan, ‘al lamahul bayan.”
Mentari mulai memancarkan sinarnya, cahayanya terang menerangi segala penjuru dunia. Allahu akbar, Maha Besar Allah Sang Pencipta seluruh alam. Yang mengendalikan semua yang ada di jagad raya ini. Syahida menyibak gordyn jendela rumah lalu membuka pintu rumahnya. Matanya menyapu pemandangan lingkungan sekitar rumahnya. Rumah kecil yang terdapat di pinggir kampung dekat sawah. Bibirnya tak henti-hentinya mengucap tasbih, memuja keagungan Allah. “Ayaahh, ayo kita jualan bubur.”
“Iya, Nak, sebentar, biar Ayah menyiapkan gerobaknya dulu.” Ujar Ayah mendorong gerobak yang ia letakkan di depan rumah. Ayah mengangkat panci berisikan bubur pada gerobaknya.
Ketika semua sudah siap, mereka berangkat untuk keliling berjualan bubur ayam. Dari kampung ke kampung mereka berkeliling, lelah tak mereka hiraukan, tetesan keringat yang mengalir seakan terhapuskan oleh orang-orang yang membeli bubur ayam mereka. Kesabaran, ketabahan mereka, yang membuat mereka tegar. Mereka adalah keluarga kecil yang sederhana dengan penuh kasih sayang. Bagi Pak Mahmud, kebahagiaan Syahida adalah segalanya. Matahari yang begitu terik menggantung di langit biru nan luas. Duhur tiba, mereka berhenti di musala. Mereka salat dan melepas lelah sejenak.
“Nak, cape ya?”
“Enggak, Yah, Syahida malah seneng, bisa bantuin Ayah.” Jawab Syahida kalem, bibirnya melukiskan senyuman yang membuat hati menjadi damai.
“Ya sudah, kita salat duhur ya, setelah itu kita pulang.”
“Iya, Yah, tapi nanti sore jadi ya, ke makam Ibu.”
“Iya, Syahida sayang.”
Sedikit keras kepala memang, jika Syahida rindu pada Ibunya, dia pasti mengajak Ayahnya pergi ke makam Ibunya. Seberapa sibuknya Syahida pada tugas-tugas sekolah, jika dia merindukan sosok Ibu, dia pasti ke makam untuk melepas rindu, jika tidak ke makam, dia membaca surah kesukaannya Ar-Rohman dengan berlinang air mata, air mata tentang kerinduan pada Ibu, yang telah lama pergi meninggalkannya, untuk selamanya. Usai salat duhur, mereka pulang dengan dompet yang terisi lebih dari biasanya. Bubur ayam yang mereka jual, habis terjual. Banyak yang mengatakan, bahwa bubur ayam buatan Pak Mahmud, Ayah Syahida, memang enak dibandingkan dengan bubur ayam jualan orang lain. Tak terasa, sampailah mereka di rumah kecil tempat di mana mereka tinggal. Lepas sudah semua lelah, yang mereka rasakan. Pak Mahmud memarkirkan gerobaknya. Syahida membuka pintu rumah, lalu membuatkan kopi untuk sang Ayah.
“Nih, Yah, Syahida buatkan kopi untuk Ayah.” Kata Syahida sembari menggeletakkan gelas yang berisikan kopi hitam dengan sedikit gula di meja makan. Syahida duduk di kursi sembari menghidupkan TV kecil yang terkadang hilang gambarnya. Maklum, TV lawas dengan antena tanpa parabola.
“Terima kasih, Syahida.” Ucap Pak Mahmud menyeruput kopi buatan anak kesayangannya. “Sekarang kamu istirahat dulu, nanti kalau sudah adzan ashar, Ayah bangunkan kamu. Kita pergi ke makam Ibu.”
“Baik, Yah.”
Sore pun datang menghampiri. Setelah salat ashar, Syahida mengambil kerudung warna cokelat dari alamarinya. Syahida bersiap untuk pergi ke makam. Al-Qur’an kecil, tak lupa ia bawa.
“Sudah siap Nak?”
“Sudah, Yah,”
“Ya, sudah, ayo berangkat nunggu apa lagi?”
“Enggak naik motor, Yah?”
“Ayah lupa belum beli bensin, bensinnya habis, kita jalan kaki saja ya, deket kok.” Jelas Pak Mahmud.
“Ya udah, ayo Yah.” Tangan Syahida menggandeng tangan Ayahnya dengan erat.
Sesampai di makam, Syahida mengusap-usap batu nisan Ibunya, lalu menciumnya dengan penuh rindu. Air matanya mengalir perlahan. Begitu pula dengan Pak Mahmud. Pak Mahmud dan Syahida membersihkan makamnya lalu menaburkan kembang di makam. Tidak lupa, mereka juga membaca surah Yasin, Syahida juga membaca surah Ar-Rohman dan mengirimkan do’a. Air mata Syahida mengalir tak henti-hentinya ketika membaca surah Ar-Rohman, apalagi ketika ia mendo’akan Ibunya. Air matanya semakin deras.
“Ya Allah, Syahida sangat merindukan Ibu, Syahida ingin sekali memeluk Ibu, mencium Ibu, beri Syahida kesempatan lima menit saja Syahida bersama Ibu, biarkan rindu yang Syahida pendam selama bertahun-tahun lepas sudah. Rindu yang Syahida selalu ungkapkan dengan membaca ayat-ayat indahmu surah Ar-Rohman, itu sudah membuatku bahagia, namun, biarkan kebahagiaan itu menjadi sempurna jika Engkau pertemukan aku dengan Ibu. Ya Allah, berikan tempat yang terbaik kepada Ibu, tempat sebaik-baik tempat, terimalah semua amal ibadahnya, ampunilah dosa-dosanya, kirimkan salam rinduku untuk Ibu, dengan surah Ar-Rohman yang selalu aku baca, Ya Allah, amiiinn.”
Cerpen Karangan: Fifi Dzakiyatul Mustafidah

[CERPEN] Cahaya Hati

0

Pikiranku penuh, hatiku gundah. Ah, seperti biasanya, menyebalkan sekali pagi ini. Namun sayang, alam seolah tidak peduli dengan perasaan hatiku yang sedang kacau. Ia malah asyik bersenang-senang, melukis panorama menakjubkan. Tidak bisakah ia sedikit mengerti dan turut berduka? Hujan rintik-rintik sebentar misalnya, sehingga bisa membuatku basah dan sedikit tenang. Tapi mengesalkan sekali, sepertinya hal itu tidak akan terjadi karena hari ini ia terlihat sangat cerah. Tuk! Ini sudah batu kesepuluh yang ku tendang pagi ini.
“Aaahh tidak bisakah mereka memahami perasaanku? Aku lelah melihat mereka bertengkar!! Tuhan, kalau memang benar Kau baik, tidak bisakah Engkau mendamaikan mereka sehari saja? Tidak bisakah Kau–”
“Apa yang sedang kamu lakukan?” Ucapanku terhenti karena tiba-tiba bahuku disentuh seseorang. Yang membuatku teramat kesal adalah, ia telah membuatku berhenti bicara pada Tuhan. Bagaimana kalau doaku kali ini tidak dikabulkan lagi? Aku ingin sekali doa yang selalu ku haturkan setiap pagi ini terkabul sekali saja. Ku toleh ia sebentar dengan tatapan tajam.
“Apa urusannya denganmu?” kataku ketus sambil terus berjalan.
“Eem, perkenalkan, namaku Kiana. Baju seragam kita sama, jadi ku rasa kita satu sekolah. Aku anak baru, pindahan dari kota sebelah. Siapa namamu? Kelas berapa? Aah, tertera di bedge kelasmu, kamu kelas 11, ya? Berarti kita sama! Aku harap kita sekelas di sekolah kita nanti,” ocehnya riang tanpa memedulikan air mukaku yang semakin masam.
Apa-apaan ini, sok kenal sekali dia. Bahkan teman sekelasku saja sedikit enggan menyapaku -karena takut padaku- tapi kenapa dia berani sekali?
“Oh ya? Sayangnya aku justru tidak berharap seperti itu,” ucapku lagi-lagi ketus, lalu berjalan cepat menghindarinya.
“Hei, tunggu! Tidak bisakah kita berjalan bersama?” teriaknya seraya berusaha menyamakan langkahnya agar bisa jalan di sebelahku.
Ish, mengerikan sekali, anak ini ingin berjalan denganku? Cari mati rupanya. Ku percepat langkahku supaya ia tidak bisa menyusul, hingga membuat rambut sepunggungku berkibar-kibar. Awalnya aku senang karena untuk beberapa menit ia tidak ku lihat ada di dekatku, namun 5 detik kemudian ku lihat ia sudah di sebelahku lalu jalan dengan pelan dengan napas tersengal.
“Larimu cepat sekali, hingga aku sulit menyusulmu,” ujarnya sedikit tersendat karena belum mengatur napasnya. Dasar payah, lari apanya, baru segitu saja sudah kelelahan.
“Ah, aku tidak akan mengganggumu, aku hanya ingin berkata, semoga hari ini menyenangkan bagimu, dan semoga Tuhan selalu memberikan kemudahan di setiap urusanmu,” ucapnya dengan intonasi yang mulai normal, tidak tersendat lagi. Kemudian ia mengulas senyum yang lebar dan berlari kecil mendahului langkahku, hingga membuat kerudungnya bergoyang mengikuti gerakannya. Aku hanya berdecak kecil sambil terus berdoa sepanjang perjalanan menuju ke sekolah, semoga murid baru yang aneh itu tidak menjadi teman sekelasku.

“Selamat pagi anak-anak. Sebelum berdoa bersama, Bapak ingin kalian tenang sebentar, karena hari ini kalian akan mendapat teman baru. Ya, silahkan masuk. Perkenalkan dirimu.” Deg! Jantungku serasa berhenti sebentar. Tidak. Tidak mungkin ia akan jadi teman sekelasku. Mungkin ada 2 murid pindahan di sekolah ini, jadi itu tidak mungkin dia, bisa saja murid baru yang lain. Namun yang ku lihat selanjutnya adalah wajah riangnya yang menyapa seisi kelasku. Tuhan, apa salahku sehingga Kau tidak pernah mengabulkan doaku?
“Assalamu’alaikum, selamat pagi semuanya. Nama saya Avionne Kiana, saya murid pindahan dari kota sebelah. Saya sangat senang bisa bersekolah di sini, mohon bantuannya!” ucapnya sopan dengan diiringi senyuman lebar.
“Baik, Kiana, silahkan duduk di samping.” Oh Tuhan, ku mohon jangan di sebelahku, ku mohon, ku mohon, ku mohon. Doaku dalam hati sambil memejamkan mataku rapat-rapat. “Mm, Lia, kursi sebelahmu kosong, kan? Silahkan Kiana duduk di samping Lia,” ujar Pak Budi seraya menunjuk kursi Lia, anak yang duduk di depanku.
Seketika perasaanku lega. Sebenarnya kursi di sebelahnya itu kursiku, hanya saja aku pindah di belakang, karena, mm karena rasanya lebih enak saja jika duduk sendirian. Ah setidaknya walaupun jarang, Tuhan masih pernah mengabulkan doaku. “Baik, mari kita mulai berdoa. Ketua kelas, ayo pimpin teman-temanmu untuk berdoa sebelum memulai pelajaran.” Dan kemudian pelajaran fisika dan sejarah pun berlalu dengan menyenangkan karena lagi-lagi seisi kelas seolah tidak merasa bahwa aku ada.

Jam istirahat tinggal 5 menit. Sekembalinya dari kantin ke kelas, aku melihat anak baru itu masih di kelas, sendirian. Apa ia tidak ke kantin? Ah, tangannya seperti memegang sesuatu, pandangannya pun tertuju hanya pada benda itu. Sedang memegang apa, sih? Ah sudahlah, bukan urusanku. Ketika duduk di tempat dudukku, aku merasa ada sedikit aura yang aneh. Kenapa rasanya sangat tenang? Sepertinya biasanya biasa saja, tapi mengapa kali ini. Ah, rupanya anak baru itu tengah membaca Al-Qur’an. Suaranya pelan sekali, tapi masih bisa ditangkap oleh gendang telingaku.
Samar-samar masih ku dengar suaranya yang menenangkan. Bacaannya lancar sekali meski tanpa nada meliuk-liuk seperti di video-video rohani. Entah kenapa sangat menyenangkan mendengarnya mengaji. Tanpa sadar perlahan ku pejamkan mataku seraya tersenyum kecil. Bel tanda istirahat telah selesai akhirnya berbunyi, disusul dengan berhentinya anak itu mengaji. Ah, kenapa sudah selesai, sih, mengajinya? Rutukku tanpa sadar sambil masih memejamkan mata. Ah, aku baru sadar, apa yang baru saja ku lakukan? Segera ku buka mataku dan membalikkan badan. Ku ambil buku pelajaran dari dalam tasku, dan meletakkannya di meja dengan tenaga lebih hingga menimbulkan debaman. Mengesalkan, apa yang baru saja ku pikirkan dan ku lakukan? Tubuh dan jiwaku mulai sedikit aneh gara-gara anak aneh itu.

Sudah hampir sebulan dia menjadi teman sekelasku, dan sudah hampir sebulan pula aku mendengar suara mengajinya setiap jam istirahat. Meskipun lama tempo mengajinya di hari Selasa, Rabu, dan Jum’at hanya sebentar karena pada 7 menit terakhir jam istirahat ia akan membuka kotak bekalnya untuk makan, entah kenapa tetap saja menyenangkan. Tak jarang pula ia menawarkan bekal makanannya padaku, yang selalu ku balas dengan acuh -malah membolak-balik buku diktat di depanku yang selalu ku jadikan alibi saat tinggal di kelas- seolah tak menganggap dia ada.
Ah, akhir-akhir ini aku semakin aneh… bahkan dua minggu terakhir aku rela tidak ke kantin dan membawa roti dari rumah hanya agar bisa mendengar suara mengajinya lebih lama, dari awal sampai akhir. Dan juga, entah kenapa batinku terasa lebih tenang. Di rumah, saat kedua kakakku bertengkar ketika orangtua kami masih di luar negeri, jika dulu aku lebih memilih menyingkir dan tidak peduli, namun kini telah beberapa kali aku mulai melerai mereka. Dan entah bagaimana, mulutku bisa mengeluarkan beberapa kalimat bijaksana yang bisa membuat mereka terdiam. Aku sendiri tidak tahu bagaimana bisa kalimat-kalimat itu meluncur dari mulutku. Bahkan, aku juga beberapa kali mulai membiasakan diri mencuci piring kotorku sendiri dan menyapu kamarku, hal yang dulu selalu dilakukan para pembantuku. Ah, aku sungguh tidak tahu ada angin apa yang berhembus di atas kepalaku hingga isinya seolah terbalik.
Seperti biasanya, hari ini aku benar-benar tinggal di kelas untuk mendengarnya mengaji, lagi. Ah, aku bahkan tidak paham dengan apa yang membuatku masih bertahan selama hampir sebulan penuh ini tetap tinggal di kelas hanya untuk mendengar suara mengajinya. Tapi entah kenapa, kali ini dia cepat sekali selesainya. Atau ini hanya perasaanku saja, ya? Apa waktu istirahat memang sudah hampir habis? Ah, ini hari selasa, sekarang dia pasti sedang memakan bekalnya. Ku buka mataku perlahan, tapi kenapa aku tidak menemukannya? Di mana dia? Perasaanku sedikit aneh ketika melihat 3 tetes darah kental di mejanya. Ku picingkan mataku, memastikan bahwa penglihatanku hanya ilusi.
“Ada apa?” ujarnya tiba-tiba. Aku heran, kapan dia datang? Ia menatapku, lalu menatap objek yang ku tatap. Seketika tubuhnya sedikit gemetar.
“Ah, i-itu, hanya mimisan biasa. Aku memang akhir-akhir ini sering mimisan,” katanya dengan gugup. Aku mendesah pelan, tak percaya.
“Kamu sakit?” tanyaku to the point. Ia terdiam sejenak, mengambil napas beberapa kali untuk menenangkan dirinya. Beberapa detik kemudian wajahnya kembali seperti biasa, terlihat riang. “Ya, leukemia.” Apa?! Sungguh, dua kata itu harusnya tak sesederhana pengucapannya. Entah kenapa seolah ada yang menikam jantungku perlahan.
“A-apa?” tanyaku masih tidak percaya. Ku sentuh rambut sepunggungku, ku rapikan ikatannya sehingga tidak lagi menatap matanya. Ah, apa-apaan ini, kenapa jadi aku yang gugup?
Ia tertawa kecil menanggapi reaksi bodohku. “Kamu percaya? Entah kenapa dari awal aku merasa kamu adalah teman pertamaku yang akan tahu hal ini.”
Ku picingkan mataku, sungguh aku belum paham benar apa maksudnya. “Reya Matalin, itu namamu, kan? Entah kenapa sejak peristiwa ketidaksengajaan kita bertemu di jalan saat hari pertama aku pindah, aku merasa kelak kita akan berteman dekat, dan kamu akan jadi orang pertama selain keluargaku dan pihak sekolah yang mengetahui penyakit ini. Aku sangat tidak menyangka bahwa itu benar-benar terjadi,” ujarnya seraya tersenyum.
Ku mainkan kedua kakiku di bawah meja. Sebenarnya ada berjuta perasaan aneh yang tidak ku pahami muncul sejak topik obrolan ini bermula. “Ah, lupakan saja. Maaf, tadi aku bicara yang tidak-tidak, kamu pasti tidak mengerti, kan? Sudah lupakan, ayo kita belajar saja. Setelah ini ujian kimia, kan? Kamu percaya, nggak, aku bahkan belum belajar sama sekali karena semalam ketiduran,” katanya diikuti kekehan kecil. Lalu ia mengambil buku kimia dari tasnya, dan berbalik, duduk membelakangiku.
“Ku rasa tidak buruk,” kataku tiba-tiba, memecah hening yang telah berlalu beberapa detik. Ia berbalik, memandangku penuh tanda tanya.
“Ku rasa tidak buruk berteman dengan seorang penderita leukemia,” ucapku sedikit sarkasme. Ia masih memandangku bingung.
“Ah, dasar lola. Sudah sana belajar, jangan sampai nanti menyontek hanya karena belum belajar,” kataku ketus.
Aish, sebenarnya aku malu sekali. Ini kali pertama aku bilang ‘ingin berteman’ setelah beberapa tahun terakhir aku nyaris tidak punya teman sama sekali karena lebih memilih menyendiri. Ya, menyendiri. Membiarkan diriku sendiri tenggelam atas segala permasalahan di rumahku. Ia tertawa kecil. “Ah, ternyata dugaanku benar. Tidak ku sangka senang sekali rasanya punya teman yang sedikit ketus,” candanya. Aku hanya terdiam dengan wajah menahan malu. Lalu ia berbalik dan kembali menekuni buku kimianya.
“Emm, Kiana,” panggilku. Ia menoleh.
“Bisakah kamu mengajari aku mengaji?”
“Eh? Me-mengaji?” tanyanya ragu.
Aku mengangguk pasti.
“Memangnya kamu… em, islam?” tanyanya dengan nada sungkan. Aku melongo.
“Kamu kira aku bukan Islam?”
“Eh, maaf, aku kira kamu Kristen, hehe,” ucapnya sedikit canggung seraya menggaruk kepalanya. Aku menahan tawa.
“Kalau boleh tahu, kenapa kamu ingin belajar mengaji?” tanyanya lagi.
“Aku merasa, semenjak sering mendengarmu mengaji, hatiku sangat nyaman dan tenteram. Seolah diterangi cahaya pagi yang lembut,” jawabku sedikit berlebihan.
“Jadi kamu sering nguping aku mengaji? Aah, jadi itu alasannya akhir-akhir ini kamu jarang ke kantin? Ingin mendengar suara mengajiku yang indah nan lembut di balik alibi memegang buku-buku tebal?” ujarnya narsis. Aku bergidik geli meski penyataannya tidak salah.
“Oke, kalau begitu. Mulai kapan kamu mau belajar mengaji bersama? Di mana?”
“Mm, Hari Senin dan Kamis kamu ada acara, nggak? Pulang sekolah, di masjid sekolah saja selepas sholat duhur, gimana?”
“Boleh, boleh. Mulai besok kamis saja, ya? Untuk hari pertama, bagaimana kalau aku ajak kamu ke toko buku dulu untuk beli Al-Qur’an? Tapi sebelumnya, kita belajar lewat Qira’ati punya adikku dulu, ya. Untuk mengetahui dasar-dasar bacaannya. Nanti aku belikan, deh. Hitung-hitung buat hadiah untuk sahabat baru,” katanya panjang lebar nan penuh semangat dengan diiringi senyuman lebar, membuat kedua mata kecilnya nyaris tenggelam menjadi sabit. Aku mengangguk, tidak keberatan. Lagi pula, aku belum punya Al-Qur’an, jadi ku pikir ide itu tidak buruk. Ah, tak ku sangka bisa lebih dekat denganNya. Ku ulas senyum terbaikku. Semoga aku bisa selalu bisa mempertahankan semangat ini.
Sekarang aku paham, kenapa Ia dulu belum mengabulkan doa-doaku. Karena memang untuk meraih apa yang kita inginkan, tidak bisa instan. Kita harus berusaha dulu untuk bisa merealisasikannya. Seperti dalam masalahku misalnya, dibutuhkan ketenangan dan keteduhan hati untuk mencapainya. Dan untuk mendamaikan hati seseorang, dapat dimulai dari mendamaikan hati diri sendiri. Terima kasih telah menurunkan cahayaMu lewat kebesaran hatinya, ya Allah. Semoga Kau beri kami waktu yang panjang untuk bisa saling mengenal lebih jauh, untuk menambal kerusakan istana keimananku kembali. Amin.

[CERPEN] Allah Bersama Orang Yang Sabar

0

Ketika di pagi hari yang begitu cerah matahari menampakkan sinarnya, disaat itulah aku melangkahkan kakiku di bumi untuk mencari nafkah demi menghidupkan istri dan anakku. Pekerjaan yang ku jalani hanyalah menjadi seorang tukang becak, setiap pagi aku turun dan pulang ketika fajar meredupkan sinarnya, tiadalah banyak rezeki yang ku dapatkan, tetapi rasa syukur atas rezeki yang ku dapatkan menjadikan kenikmatan untuk ku, istri dan anakku. Saat pagi itu sang fajar mulai naik, tidak lupa aku untuk bersinggah ke masjid untuk menunaikan shalat dhuha dua rakaat yang setiap paginya ku tunaikan, setiap doa kupanjatkan kepada allah swt dengan hati yang ikhlas dan sabar.
Matahari telah naik tinggi dengan sinarnya yang menembus kulitku, kulanjutkan mengayuh becak sebagai alat untukku mencari nafkah ke pasar tempatku biasa mencari penumpang, telah lama aku berkeliling dan menunggu penumpang, tapi apa daya tiada satu pun masih kudapatkan penumpang. Tetap ku jalani apa yang aku kerjakan walaupun tiada satu pun masih aku dapatkan penumpang, usaha, usaha, usaha, tawakkal, sabar dan semangat, hanya itulah kunci usaha yang aku jalani. Keringat pun bercucuran membasahi badanku, hanyalah lelah yang ku dapatkan, tetapi lelah tidak membuatku patah semangat mencari nafkah demi istri dan anakku. Ku jadikan pekerjaan yang aku jalani sebagai ikhtiar kepada allah juga sebagai meningkatkan iman dan kesabaran, karena aku yakin allah maha mencintai orang yang sabar dan selalu bersama orang yang sabar.
Adzan dzuhur telah berkumandang dan penumpang masih belum kudapatkan, aku tinggalkan sejenak pekerjaan untuk menunaikan shalat dzuhur. Usai aku menunaikan shalat kupanjatkan doa kepada yang maha kuasa “Ya allah yang maha pengasih, kasihilah aku dengan kasihmu yang lembut, sayangilah aku dengan sayangmu yang tulus, engkau dzat yang maha agung, engkau dzat yang maha tinggi, engkau dzat yang maha nyata, engkau dzat yang maha tahu, engkau dzat yang maha kaya, engkau dzat yang maha kuasa dan berkendak, engkau dzat yang maha penyantun, sungguh tiadalah tempatku meminta, hanya engkaulah penolong sebaik-baiknya, berilah pertolongan serta kelancaran dalam aku mencari nafkah untuk menghidupkan aku, istri dan anakku, sungguh engkaulah yang maha kaya, lancarkanlah rezky ku, mudahkanlah rezky ku, berkahilah rezky ku, jauhkanlah aku dari rezky yang haram dekatkanlah aku dengan rezky yang hallal”. Itulah doa yang selalu kupanjatkan tiada henti dengan penuh kesabaran diiringi dengan usaha dan kerja keras.
Kembali aku kepada becakku untuk mencari nafkah kembali, panaspun menjadi semakin terik, tetap aku kayuh becak dengan sekuat tenaga dan semangat, keringat pun tiada henti membasahi tubuh ku, namun ikhtiar doa serta usaha dan kerja keras dengan penuh keiklasan dan kesabaran dalam mencari nafkah mungkin ini lah doaku di ijabah allah swt, kulihat lelaki berjas rapi di tepian jalan dengan mobil mewahnnya menghentikanku, seraya berkata “maukah bapak mengantarkan ke kantor, ada rapat penting yang harus dilaksanakan segera, mobil saya mogok”, dengan bergegas aku mengatakan “iya”, dan bergegas mengantarkan dia ke kantornya.
Di tengah perjalan banyak hal yang kami bicarakan, sampai tibalah aku mengantarkan dia ke depan kantornya yang begitu besarnya, dan tidak ku sangka sungguh allah maha kaya dan tepatlah janjinya yang menyertai orang-orang yang sabar, dia memberikan ongkos dengan nilai yang sangat besar bagiku dengan uang 200.000, aku kaget dan berkata “ini terlalu besar tuan, tidaklah seberapa dengan jasa yang aku berikan kepada tuan”, dia hanya tersenyum dan berkata “bapak sudah membantu saya datang ke kantor dengan tepat waktu, jika saya tidak bertemu bapak, dan tidak datang di kantor tepat waktu untuk rapat yang akan dilaksanakan, sungguh karir saya akan hancur, ini sebagai tanda terimakasih saya kepada bapak yang telah menyelamatkan karir saya”. Dia pun bergegas dan masuk kedalam untuk melaksanakan tugasnya, sungguh tiada kusangka usaha, kesabaran, ikhtiar, semangat dan doa tidaklah pernah sia-sia, dan allah selalu bersama orang yang sabar.
Kupanjatkan syukur kepada allah atas rezky yang telah allah berikan, lelah, keringat, semuanya sudah terbalaskan. Sudah hampir seharian aku berkeliling mencari nafkah, hari pun semakin sore, adzan ashar berkumandang dan segera aku bergegas ke masjid untuk melaksanakan kewajibanku dan atas rasa syukur dari rezeki yang telah allah berikan. Usai melaksanakan shalat bergegaslah aku untuk pulang memberikan rezky yang telah aku dapatkan kepada istri dan anakku.
Cerpen Karangan: Naufal Nurfikri Muhammad
Facebook: veg_r68[-at-]yahoo.com
nama lengkap : Naufal Nurfikri Muhammad
Pekerjaan :Mahasiswa di jurusan analis kesehatan politeknik kementerian kesehatan pontianak,kalimantan barat.
umur 21 tahun.
Menuliskan cerpen religi, kehidupan, dan nasihat untuk pembaca untuk lebih mengingat allah swt.

Minggu, 05 Juni 2016

Karya Sastra Pantun

0

Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan . Lazimnya pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), bersajak akhir dengan pola a-b-a-b (tidak boleh a-a-a-a, a-a-b-b, atau a-b-b-a). Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis.
Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi . Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.
Karmina dan talibun merupakan bentuk kembangan pantun, dalam artian memiliki bagian sampiran dan isi. Karmina merupakan pantun “versi pendek” (hanya dua baris), sedangkan talibun adalah “versi panjang” (enam baris atau lebih).

Peran pantun

Sebagai alat pemelihara bahasa, pantun berperan sebagai penjaga fungsi kata dan kemampuan menjaga alur berfikir. Pantun melatih seseorang berfikir tentang makna kata sebelum berujar. Ia juga melatih orang berfikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata yang lain.
Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga sekarang. Di kalangan pemuda sekarang, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berfikir dan bermain-main dengan kata. Seringkali bercampur dengan bahasa-bahasa lain. Berikut contoh pantun (sebetulnya adalah karmina) dari kalangan pemuda:
Mawar merah tumbuh di dinding
Jangan marah, just kidding
Namun demikian, secara umum peran sosial pantun adalah sebagai alat penguat penyampaian pesan.

Struktur Pantun

Menurut Sutan Takdir Alisjahbana fungsi sampiran terutama menyiapkan rima dan irama untuk mempermudah pendengar memahami isi pantun. Ini dapat dipahami karena pantun merupakan sastra lisan.
Meskipun pada umumnya sampiran tak berhubungan dengan isi terkadang bentuk sampiran membayangkan isi. Sebagai contoh dalam pantun ini:
Air dalam bertambah dalam
Hujan di hulu belum lagi teduh
Hati dendam bertambah dendam
Dendam dahulu belum lagi sembuh
Beberapa sarjana Eropa berusaha mencari aturan dalam pantun maupun puisi lama lainnya. Misalnya satu larik pantun biasanya terdiri atas 4-5 kata dan 8-12 suku kata. Namun aturan ini tak selalu berlaku.

Pantun Adat

1.
Menanam kelapa di pulau Bukum
Tinggi sedepa sudah berbuah
Adat bermula dengan hukum
Hukum bersandar di Kitabullah
2.
Ikan berenang didalam lubuk
Ikan belida dadanya panjang
Adat pinang pulang ke tampuk
Adat sirih pulang ke gagang
3.
Lebat daun bunga tanjung
Berbau harum bunga cempaka
Adat dijaga pusaka dijunjung
Baru terpelihara adat pusaka
4.
Bukan lebah sebarang lebah
Lebah bersarang dibuku buluh
Bukan sembah sebarang sembah
Sembah bersarang jari sepuluh
5.
Pohon nangka berbuah lebat
Bilalah masak harum juga
Berumpun pusaka berupa adat
Daerah berluhak alam beraja

Pantun Agama

1.
Banyak bulan perkara bulan
Tidak semulia bulan puasa
Banyak tuhan perkara tuhan
Tidak semulia Tuhan Yang Esa
2.
Daun terap diatas dulang
Anak udang mati dituba
Dalam kitab ada terlarang
Yang haram jangan dicoba
3.
Bunga kenanga diatas kubur
Pucuk sari pandan Jawa
Apa guna sombong dan takabur
Rusak hati badan binasa
4.
Anak ayam turun sepuluh
Mati seekor tinggal sembilan
Bangun pagi sembahyang subuh
Minta ampun kepada Tuhan
5.
Asam kandis asam gelugur
Ketiga asam si riang-riang
Menangis mayat dipintu kubur
Teringat badan tidak sembahyang

Pantun Budi

1.
Bunga cina diatas batu
Daunnya lepas kedalam ruang
Adat dunia memang begitu
Sebabnya emas budi terbuang
2.
Diantara padi dengan selasih
Yang mana satu tuan luruhkan
Diantara budi dengan kasih
Yang mana satu tuan turutkan
3.
Apa guna berkain batik
Kalau tidak dengan sujinya
Apa guna beristeri cantik
Kalau tidak dengan budinya
4.
Sarat perahu muat pinang
Singgah berlabuh di Kuala Daik
Jahat berlaku lagi dikenang
Inikan pula budi yang baik
5.
Anak angsa mati lemas
Mati lemas di air masin
Hilang bahasa karena emas
Hilang budi karena miskin

Pantun Jenaka

1.
Dimana kuang hendak bertelur
Diatas lata dirongga batu
Dimana tuan hendak tidur
Diatas dada dirongga susu
2.
Elok berjalan kota tua
Kiri kanan berbatang sepat
Elok berbini orang tua
Perut kenyang ajaran dapat
3.
Sakit kaki ditikam jeruju
Jeruju ada didalam paya
Sakit hati memandang susu
Susu ada dalam kebaya
4.
Naik kebukit membeli lada
Lada sebiji dibelah tujuh
Apanya sakit berbini janda
Anak tiri boleh disuruh
5.
Orang Sasak pergi ke Bali
Membawa pelita semuanya
Berbisik pekak dengan tuli
Tertawa si buta melihatnya
6.
Ada apa diseberang itu
Mentimun busuk dimakan kalong
Ada apa diseberang itu
Bujang bungkuk gadis belong
7.
Limau purut di tepi rawa,
buah dilanting belum masak
Sakit perut sebab tertawa,
melihat kucing duduk berbedak

Pantun Kepahlawanan

1.
Adakah perisai bertali rambut
Rambut dipintal akan cemara
Adakah misai tahu takut
Kamipun muda lagi perkasa
2.
Hang Jebat Hang Kesturi
Budak-budak raja Melaka
Jika hendak jangan dicuri
Mari kita bertentang mata
3.
Kalau orang menjaring ungka
Rebung seiris akan pengukusnya
Kalau arang tercorong kemuka
Ujung keris akan penghapusnya
4.
Redup bintang haripun subuh
Subuh tiba bintang tak nampak
Hidup pantang mencari musuh
Musuh tiba pantang ditolak
5.
Esa elang kedua belalang
Takkan kayu berbatang jerami
Esa hilang dua terbilang
Takkan Melayu hilang dibumi

Pantun Kias

1.
Ayam sabung jangan dipaut
Jika ditambat kalah laganya
Asam digunung ikan dilaut
Dalam belanga bertemu juga
2.
Berburu kepadang datar
Dapatkan rusa belang kaki
Berguru kepalang ajar
Bagaikan bunga kembang tak jadi
3.
Anak Madras menggetah punai
Punai terbang mengirap bulu
Berapa deras arus sungai
Ditolak pasang balik kehulu
4.
Kayu tempinis dari kuala
Dibawa orang pergi Melaka
Berapa manis bernama nira
Simpan lama menjadi cuka
5.
Disangka nenas ditengah padang
Rupanya urat jawi-jawi
Disangka panas hingga petang
Kiranya hujan tengah hari

Pantun Nasihat

1.
Kayu cendana diatas batu
Sudah diikat dibawa pulang
Adat dunia memang begitu
Benda yang buruk memang terbuang
2.
Kemuning ditengah balai
Bertumbuh terus semakin tinggi
Berunding dengan orang tak pandai
Bagaikan alu pencungkil duri
3.
Parang ditetak kebatang sena
Belah buluh taruhlah temu
Barang dikerja takkan sempurna
Bila tak penuh menaruh ilmu
4.
Padang temu padang baiduri
Tempat raja membangun kota
Bijak bertemu dengan jauhari
Bagaikan cincin dengan permata
5.
Ngun Syah Betara Sakti
Panahnya bernama Nila Gandi
Bilanya emas banyak dipeti
Sembarang kerja boleh menjadi

Pantun Percintaan

1.
Coba-coba menanam mumbang
Moga-moga tumbuh kelapa
Coba-coba bertanam sayang
Moga-moga menjadi cinta
2.
Limau purut lebat dipangkal
Sayang selasih condong uratnya
Angin ribut dapat ditangkal
Hati yang kasih apa obatnya
3.
Ikan belanak hilir berenang
Burung dara membuat sarang
Makan tak enak tidur tak tenang
Hanya teringat dinda seorang
4.
Anak kera diatas bukit
Dipanah oleh Indera Sakti
Dipandang muka senyum sedikit
Karena sama menaruh hati
5.
Ikan sepat dimasak berlada
Kutunggu di gulai anak seberang
Jika tak dapat dimasa muda
Kutunggu sampai beranak seorang
6.
Kalau tuan pergi ke Tanjung
Kirim saya sehelai baju
Kalau tuan menjadi burung
Sahaya menjadi ranting kayu.
Kalau tuan pergi ke Tanjung
Belikan sahaya pisau lipat
Kalau tuan menjadi burung
Sahaya menjadi benang pengikat
Kalau tuan mencari buah
Sahaya pun mencari pandan
Jikalau tuan menjadi nyawa
Sahaya pun menjadi badan.

Pantun Peribahasa

1.
Berakit-rakit kehulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian
2.
Kehulu memotong pagar
Jangan terpotong batang durian
Cari guru tempat belajar
Jangan jadi sesal kemudian
3.
Kerat kerat kayu diladang
Hendak dibuat hulu cangkul
Berapa berat mata memandang
Barat lagi bahu memikul
4.
Harapkan untung menggamit
Kain dibadan didedahkan
Harapkan guruh dilangit
Air tempayan dicurahkan
5.
Pohon pepaya didalam semak
Pohon manggis sebasar lengan
Kawan tertawa memang banyak
Kawan menangis diharap jangan

Pantun Perpisahan

1.
Pucuk pauh delima batu
Anak sembilang ditapak tangan
Biar jauh dinegeri satu
Hilang dimata dihati jangan
2.
Bagaimana tidak dikenang
Pucuknya pauh selasih Jambi
Bagaimana tidak terkenang
Dagang yang jauh kekasih hati
3.
Duhai selasih janganlah tinggi
Kalaupun tinggi berdaun jangan
Duhai kekasih janganlah pergi
Kalaupun pergi bertahun jangan
4.
Batang selasih mainan budak
Berdaun sehelai dimakan kuda
Bercerai kasih bertalak tidak
Seribu tahun kembali juga
5.
Bunga Cina bunga karangan
Tanamlah rapat tepi perigi
Adik dimana abang gerangan
Bilalah dapat bertemu lagi
6.
Kalau ada sumur di ladang
Bolehlah kita menumpang mandi
Kalau ada umurku panjang
Bolehlah kita bertemu lagi

Pantun Teka-teki

1.
Kalau tuan bawa keladi
Bawakan juga si pucuk rebung
Kalau tuan bijak bestari
Binatang apa tanduk dihidung ?
2.
Beras ladang sulung tahun
Malam malam memasak nasi
Dalam batang ada daun
Dalam daun ada isi
3.
Terendak bentan lalu dibeli
Untuk pakaian saya turun kesawah
Kalaulah tuan bijak bestari
Apa binatang kepala dibawah ?
4.
Kalau tuan muda teruna
Pakai seluar dengan gayanya
Kalau tuan bijak laksana
Biji diluar apa buahnya
5.
Tugal padi jangan bertangguh
Kunyit kebun siapa galinya
Kalau tuan cerdik sungguh
Langit tergantung mana talinya ?
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com