Aku berharap ini hanyalah mimpi. Mimpi buruk dan aku akan terbangun.
Depresiku memuncak. Aku tenggelam dalam air mata hingga terlelap karena
kelelahan. Paginya, aku berharap tidak ke sekolah. Tapi, gedoran pintu
dari ayahku membuatku terbangun. Aku tidak mau pintu itu rusak. Akhirnya
aku membukanya dan ia menarik lenganku dengan gusar ke kamar mandi,
menyuruhku mandi dan bersiap ke sekolah. Hari ini, ayah untuk pertama
kalinya mengantarku ke sekolah. Walaupun di jalan, aku disesakkan dengan
kemarahannya. Tapi, angin apa yang membuatnya mengingatku, aku tak
tahu.
Masuk ke dalam kelas seperti neraka. Ketiga teman geng-ku terus saja
mengusikku dan menyebarkan fitnah bahwa aku adalah seorang pencuri. Hari
ini sangat melelahkan bagiku. Minggu depan juga sudah Ujian Nasional.
Sepulang sekolah, ketiga ‘teman’ku itu tidak lupa menyenggol dan
menamparku saat semua orang sudah ke luar. Lalu mereka tertawa sambil
berlalu. Aku berjalan gontai ke luar kelas. Hal itu menjadi makanan
harianku hingga usai UN dan libur panjang dimulai sebelum kelulusan.
Setelah kelulusan, aku baru benar-benar mengenalnya.
Masa SMA-ku ditutup dengan sebuah insiden yang menyedihkan. Rasanya,
hidupku dari awal hingga kini memang menyedihkan. Cape, jengkel, geram,
kecewa, sedih, lara, seakan menjadi sahabat setia yang tak akan
tergantikan. Bulan depan sudah pengumuman kelulusan. Mengetahui aku akan
libur panjang, ayahku yang tadinya tidak pernah kelihatan, akan
mengantarku ke rumah tante hari ini. Sepertinya, tanteku yang memintanya
dan entah karena sudah putus asa terhadapku, ayahku mengizinkannya.
Supaya aku belajar juga, katanya.
Nuansa di rumah tanteku sangat berbeda, beberapa sepupuku juga sempat
tinggal di sini. Aku sebenarnya cukup sering juga ke sini saat masih
kecil dan jujur saja aku sangat suka berada di sini. Tak ada keriuhan,
tak ada kegeraman. Tanteku sangat pengertian dan aku akan sangat senang
berada di sini. Tapi, watak yang ku bawa sejak kecil tak semudah itu
berubah. Aku sering membuat sepupuku yang masih kecil menangis, dan
berbicara kepada tanteku dengan cukup kasar. Tapi, tanteku akan menjawab
dengan lembut. Munafik! Saat itu, itulah gambaranku tentang tanteku.
Bagiku yang tidak pernah merasakan ketulusan, kebaikan seseorang akan
membuatku merasa bahwa mereka adalah orang-orang munafik seperti teman
geng-ku. Sebab, aku baru saja merasakan insiden memuakkan yang menambah
temperamenku.
Suatu hari, karena ingin mengurus sesuatu di sekolah, aku memutuskan
untuk ke sekolah. Mumpung di sekolah, jalan-jalan sebentar saja,
Batinku. Aku pun berjalan ke arah sanggar tari. Semenjak insiden itu,
aku tidak pernah ke sanggar lagi. Aku tidak tahan melihat wajah
orang-orang itu. Saat mendekat, aku mendengar isak tangis. Bukannya
sekarang sedang jam pelajaran? Kenapa ada orang di sini? Sedikit
penasaran, aku mengintip. Veni?!!! Sebenarnya aku mengutuk di dalam
hati. Biarin aja dia nangis! Fitnah orang, menghancurkan hidup orang!
Tapi, terlambat, dia menyadari keberadaanku.
“Jre?” suaranya parau, sepertinya dia menangis sangat lama.
“Apa?!” Jawabku ketus tanpa ada rasa kasihan.
“Jre, maaf.. maaf!” permintaan maafnya menusuk hatiku. Aku diam.
“Jre.. tolong dengar,”
Akhirnya, aku menahan egoku dan mendekatinya. Ia akhirnya
menceritakan semuanya padaku. Bahwa dompetku, dia, Rita, dan Deanlah
yang mengambilnya saat aku sedang lengah. Dia tidak bisa apa-apa karena
pacarnya adalah pencandu dan dia membutuhkan uang. Mereka sudah
berpacaran terlalu jauh sehingga membuatnya tidak bisa meninggalkan
pacarnya. Hidupnya tidak lebih sama denganku. Tapi, ternyata dia hamil.
Untungnya kami sudah akan mendengarkan hasil kelulusan pekan depan.
“Terus kenapa kamu memfitnahku?” tanyaku setelah mendengar ceritanya. Aku tidak bergeming dan juga tidak mengasihaninya.
“Soalnya, kami jengkel banget sama kamu. Kamu sama dengan kami, tapi,
untuk hal-hal yang sangat kotor kamu menolak. Kamu kayak mandang kami
rendah hanya karena kamu lebih cantik dan kaya..,” belum sempat dia
melanjutkan kata-katanya, aku menamparnya.
“Kamu pikir aku lega setelah kamu minta maaf? Mati saja sana!!”
Setelah mengatakannya, aku pun berlalu, menambah luka pada hatinya
dan hatiku. Lagi pula, mana Dean dan Rita? Daripada cerita ke aku,
bukankah lebih baik cerita ke mereka. Aku pulang ke rumah tante. Aku
tidak menyangka akan bertemu dengan Arifah, gadis manis yang berjilbab
terjulur itu. Ya, aku ingat namanya saat sedikit bertanya di kantin
waktu pertama kali melihatnya dan mengetahui juga kami seangkatan.
“Arifah?” suaraku terpekik.
“Eh, ehm? Oh, Hijrah ya? Kamu kenal aku rupanya,” Ia sedikit kebingungan
dan sulit mengingatku, tetapi ia akhirnya tersenyum manis setelah
mengingat namaku. Tanteku masuk ke ruang tamu membawa 2 cangkir teh.
“Oh, iya, Tante lupa kalau Arifah ternyata satu sekolah sama kamu!” tanteku memecah suasana.
“Iya, Tante. Kami satu sekolah cuman nggak satu kelas. Hijrah mendaftar
ke universitas mana?” Tanya Arifah dengan senyum yang lebar.
“UNHAS,” jawabku pendek.
“Oh, sama dong! Nanti kita mendaftar dan ngurus sama-sama aja ya!”
Arifah memegang tanganku sambil tersenyum. Lagi-lagi tersenyum, apakah
hidupnya sebegitu mudahnya? Aku merasa kesal. “Lihat nanti deh,” jawabku
sambil membuang muka.
Percakapan pertamaku dengannya ternyata bukanlah yang terakhir.
Setelah ia pulang, tanteku akhirnya menceritakan perihal Arifah
kepadaku. Entah mengapa. Aku baru tahu, ternyata Arifah adalah tetangga
kami tapi tetangga yang cukup jauh. Orangtuanya meninggalkan Arifah dan 4
orang adiknya saat ia berada di bangku SMA. Sejak saat itu, ia menjadi
tulang punggung keluarga. Kata tanteku, orangtuanya juga broken home dan
mengalami perceraian saat ia masih kecil. Ia tinggal dengan ibunya
tetapi karena kekurangan uang, ibunya juga meninggalkannya dengan alasan
mau bekerja. Keluarga ibunya juga miskin dan sangat jarang
melihat-lihat keadaan Arifah dan adik-adiknya. Ternyata, tantekulah yang
membiayai sekolah Arifah dan adik-adiknya tetapi Arifah ingin
membalasnya, makanya ia ke rumah tanteku kemarin menyicil uang yang ia
rasa pinjaman. Aku terdiam. Termangu. Tanteku tersenyum.
“Sebentar lagi sore, ikut sama Tante ya, pengajian,” Tanteku
tersenyum penuh misteri. Setelah mendengar kisah Arifah, aku tidak bisa
membencinya, dan juga tidak bisa menolak ajakan tanteku. Arifah juga ada
katanya, membuatku tak berkutik.
Sore itu, aku ke tempat pengajian tanteku dan benar Arifah juga
datang. Tapi, ternyata Arifahlah yang menjadi ustadzahnya. Aku merasa
cukup malu padanya, tapi ia tersenyum hangat menyisakan kegetiran aneh
dalam hatiku. Aku menyesal karena pertemuan awal kami hanya sekedar
pertemuan saja tanpa ada tautan waktu SMA dulu. Sore itu pula, aku
merasa hatiku yang ditutup oleh kegelapan seakan diguyur oleh hujan
ketenangan dan kebahagiaan. Air mataku menetes. Lenyap sudah pikiran
negatifku terhadap dunia ini, dan juga terhadap tanteku.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya
dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka
berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau
kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami
beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang
sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa
yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan
rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap
kaum yang kafir.” (Terjemahan Surah Al-Baqarah: 286)
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk
hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun
(kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang
sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa
yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan
di antara mereka adalah orang-orang yang fasik,” (Terjemahan Surah
Al-Hadid: 16),”
Saat itulah aku menyadari bahwa gelap dan menyedihkannya hidupku
bukanlah disebabkan oleh masalah-masalah beruntun yang menimpaku, tetapi
karena sempitnya hatiku menghadapi masalah-masalah itu. Aku tidak tahu
harus berlari ke mana saat itu, dan ternyata saat itu, pintu Allah
sebenarnya terbuka lebar untukku. Allah sebenarnya telah
memperkenalkanku dengan mereka saat pertama kali aku melihat mereka,
tetapi aku menutup mata dan tetap tenggelam dengan zona nyaman yang ku
buat sendiri. “Zona nyaman,” yang sebenarnya hanyalah menambah kerasnya
dan dalamnya sakit hatiku. Aku menyimak dengan seksama penuturan Arifah
yang begitu dalam dan lembut yang menghancurkan kerasnya hatiku setitik
demi setitik.
Sepulang pengajian, aku berbicara banyak dengannya dan mulai rutin
mengikuti pengajian bersama tanteku. Walaupun bersama ibu-ibu, aku tetap
merasa nyaman. Kata Arifah kalau kita diterima di kampus, kajian
seperti ini juga ada khusus untuk mahasiswa. Akhirnya, kami terus
bersama hingga masa SNMPTN berakhir dan Alhamdulillah kami berdua lulus
di fakultas yang kami harapkan. Aku lulus di fakultas kedokteran, ia
lulus di fakultas Sastra Arab. Mungkin karena semenjak itu, aku
benar-benar mulai rajin belajar. Hari-hariku berubah setelah hari itu.
Aku yang tidak pernah menyentuh mushaf Al-Qur’an mulai membuka dan
berusaha membacanya.
Arifah dengan senang hati mengajarkanku walaupun kesibukan dan jadwal
kami berseberangan tapi ia akan datang ke rumah tanteku untuk
mengajarku. Aku mulai rajin salat, bukan hanya salat wajib tapi juga
sunnah. Aku mulai mengerti tentang Islam dan kebencianku terhadap
orangtuaku pun sedikit demi sedikit memudar. Semenjak tinggal di rumah
tante, tiap akhir pekan mereka akan menjengukku. Kata-kata mereka masih
ketus dan masih sering memarahiku, tapi, mengingat Arifah, aku masih
bersyukur aku masih bersama mereka. Mungkin, mereka juga sudah merasakan
perubahan pada diriku, sedikit-demi-sedikit perbincangan kami pun mulai
‘normal’.
Memang membutuhkan waktu yang lama, bahkan sampai hari kelulusanku
dan setelah menjalani koAs baru aku merasakan kehidupan “normal,”
bersama orangtuaku. Semenjak mengenal Islam, aku sudah sering memanggil
“ibu,” dan “ayah,” serta berusaha tersenyum dan mengajak mereka
bercanda. Aku bersyukur kepada Allah karena telah menunjukkanku jalan
cahaya ini. Bukan hanya mengubahku, tetapi juga mengubah lingkunganku.
Veni ku ketahui telah meninggal bunuh diri sepekan setelah pengumuman
kelulusan. Aku merasa bersalah sebenarnya, tapi kini aku hanya bisa
mendoakan kebaikan untuknya. Sedangkan 2 teman gengku yang lain, aku
tidak tahu keberadaannya, tapi semoga Allah juga memberikan mereka
hidayah.
Hijrah, itu namaku, dan itu pula jalan yang telah mengubahku. Dari
gelap dan sempitnya dunia menuju cahaya dan luasnya samudera kebahagiaan
dalam Islam. Semoga Allah memberiku keistiqomahan. Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka
(dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu
merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang
telah dijanjikan Allah kepadamu.”
Cerpen Karangan: Cerita Za
0 komentar:
Posting Komentar