Selasa, 07 Juni 2016

[CERPEN] Hijrah (Part 2)

0

Aku berharap ini hanyalah mimpi. Mimpi buruk dan aku akan terbangun. Depresiku memuncak. Aku tenggelam dalam air mata hingga terlelap karena kelelahan. Paginya, aku berharap tidak ke sekolah. Tapi, gedoran pintu dari ayahku membuatku terbangun. Aku tidak mau pintu itu rusak. Akhirnya aku membukanya dan ia menarik lenganku dengan gusar ke kamar mandi, menyuruhku mandi dan bersiap ke sekolah. Hari ini, ayah untuk pertama kalinya mengantarku ke sekolah. Walaupun di jalan, aku disesakkan dengan kemarahannya. Tapi, angin apa yang membuatnya mengingatku, aku tak tahu.
Masuk ke dalam kelas seperti neraka. Ketiga teman geng-ku terus saja mengusikku dan menyebarkan fitnah bahwa aku adalah seorang pencuri. Hari ini sangat melelahkan bagiku. Minggu depan juga sudah Ujian Nasional. Sepulang sekolah, ketiga ‘teman’ku itu tidak lupa menyenggol dan menamparku saat semua orang sudah ke luar. Lalu mereka tertawa sambil berlalu. Aku berjalan gontai ke luar kelas. Hal itu menjadi makanan harianku hingga usai UN dan libur panjang dimulai sebelum kelulusan. Setelah kelulusan, aku baru benar-benar mengenalnya.
Masa SMA-ku ditutup dengan sebuah insiden yang menyedihkan. Rasanya, hidupku dari awal hingga kini memang menyedihkan. Cape, jengkel, geram, kecewa, sedih, lara, seakan menjadi sahabat setia yang tak akan tergantikan. Bulan depan sudah pengumuman kelulusan. Mengetahui aku akan libur panjang, ayahku yang tadinya tidak pernah kelihatan, akan mengantarku ke rumah tante hari ini. Sepertinya, tanteku yang memintanya dan entah karena sudah putus asa terhadapku, ayahku mengizinkannya. Supaya aku belajar juga, katanya.
Nuansa di rumah tanteku sangat berbeda, beberapa sepupuku juga sempat tinggal di sini. Aku sebenarnya cukup sering juga ke sini saat masih kecil dan jujur saja aku sangat suka berada di sini. Tak ada keriuhan, tak ada kegeraman. Tanteku sangat pengertian dan aku akan sangat senang berada di sini. Tapi, watak yang ku bawa sejak kecil tak semudah itu berubah. Aku sering membuat sepupuku yang masih kecil menangis, dan berbicara kepada tanteku dengan cukup kasar. Tapi, tanteku akan menjawab dengan lembut. Munafik! Saat itu, itulah gambaranku tentang tanteku. Bagiku yang tidak pernah merasakan ketulusan, kebaikan seseorang akan membuatku merasa bahwa mereka adalah orang-orang munafik seperti teman geng-ku. Sebab, aku baru saja merasakan insiden memuakkan yang menambah temperamenku.
Suatu hari, karena ingin mengurus sesuatu di sekolah, aku memutuskan untuk ke sekolah. Mumpung di sekolah, jalan-jalan sebentar saja, Batinku. Aku pun berjalan ke arah sanggar tari. Semenjak insiden itu, aku tidak pernah ke sanggar lagi. Aku tidak tahan melihat wajah orang-orang itu. Saat mendekat, aku mendengar isak tangis. Bukannya sekarang sedang jam pelajaran? Kenapa ada orang di sini? Sedikit penasaran, aku mengintip. Veni?!!! Sebenarnya aku mengutuk di dalam hati. Biarin aja dia nangis! Fitnah orang, menghancurkan hidup orang! Tapi, terlambat, dia menyadari keberadaanku.
“Jre?” suaranya parau, sepertinya dia menangis sangat lama.
“Apa?!” Jawabku ketus tanpa ada rasa kasihan.
“Jre, maaf.. maaf!” permintaan maafnya menusuk hatiku. Aku diam.
“Jre.. tolong dengar,”
Akhirnya, aku menahan egoku dan mendekatinya. Ia akhirnya menceritakan semuanya padaku. Bahwa dompetku, dia, Rita, dan Deanlah yang mengambilnya saat aku sedang lengah. Dia tidak bisa apa-apa karena pacarnya adalah pencandu dan dia membutuhkan uang. Mereka sudah berpacaran terlalu jauh sehingga membuatnya tidak bisa meninggalkan pacarnya. Hidupnya tidak lebih sama denganku. Tapi, ternyata dia hamil. Untungnya kami sudah akan mendengarkan hasil kelulusan pekan depan.
“Terus kenapa kamu memfitnahku?” tanyaku setelah mendengar ceritanya. Aku tidak bergeming dan juga tidak mengasihaninya.
“Soalnya, kami jengkel banget sama kamu. Kamu sama dengan kami, tapi, untuk hal-hal yang sangat kotor kamu menolak. Kamu kayak mandang kami rendah hanya karena kamu lebih cantik dan kaya..,” belum sempat dia melanjutkan kata-katanya, aku menamparnya.
“Kamu pikir aku lega setelah kamu minta maaf? Mati saja sana!!”
Setelah mengatakannya, aku pun berlalu, menambah luka pada hatinya dan hatiku. Lagi pula, mana Dean dan Rita? Daripada cerita ke aku, bukankah lebih baik cerita ke mereka. Aku pulang ke rumah tante. Aku tidak menyangka akan bertemu dengan Arifah, gadis manis yang berjilbab terjulur itu. Ya, aku ingat namanya saat sedikit bertanya di kantin waktu pertama kali melihatnya dan mengetahui juga kami seangkatan.
“Arifah?” suaraku terpekik.
“Eh, ehm? Oh, Hijrah ya? Kamu kenal aku rupanya,” Ia sedikit kebingungan dan sulit mengingatku, tetapi ia akhirnya tersenyum manis setelah mengingat namaku. Tanteku masuk ke ruang tamu membawa 2 cangkir teh.
“Oh, iya, Tante lupa kalau Arifah ternyata satu sekolah sama kamu!” tanteku memecah suasana.
“Iya, Tante. Kami satu sekolah cuman nggak satu kelas. Hijrah mendaftar ke universitas mana?” Tanya Arifah dengan senyum yang lebar.
“UNHAS,” jawabku pendek.
“Oh, sama dong! Nanti kita mendaftar dan ngurus sama-sama aja ya!” Arifah memegang tanganku sambil tersenyum. Lagi-lagi tersenyum, apakah hidupnya sebegitu mudahnya? Aku merasa kesal. “Lihat nanti deh,” jawabku sambil membuang muka.
Percakapan pertamaku dengannya ternyata bukanlah yang terakhir. Setelah ia pulang, tanteku akhirnya menceritakan perihal Arifah kepadaku. Entah mengapa. Aku baru tahu, ternyata Arifah adalah tetangga kami tapi tetangga yang cukup jauh. Orangtuanya meninggalkan Arifah dan 4 orang adiknya saat ia berada di bangku SMA. Sejak saat itu, ia menjadi tulang punggung keluarga. Kata tanteku, orangtuanya juga broken home dan mengalami perceraian saat ia masih kecil. Ia tinggal dengan ibunya tetapi karena kekurangan uang, ibunya juga meninggalkannya dengan alasan mau bekerja. Keluarga ibunya juga miskin dan sangat jarang melihat-lihat keadaan Arifah dan adik-adiknya. Ternyata, tantekulah yang membiayai sekolah Arifah dan adik-adiknya tetapi Arifah ingin membalasnya, makanya ia ke rumah tanteku kemarin menyicil uang yang ia rasa pinjaman. Aku terdiam. Termangu. Tanteku tersenyum.
“Sebentar lagi sore, ikut sama Tante ya, pengajian,” Tanteku tersenyum penuh misteri. Setelah mendengar kisah Arifah, aku tidak bisa membencinya, dan juga tidak bisa menolak ajakan tanteku. Arifah juga ada katanya, membuatku tak berkutik.
Sore itu, aku ke tempat pengajian tanteku dan benar Arifah juga datang. Tapi, ternyata Arifahlah yang menjadi ustadzahnya. Aku merasa cukup malu padanya, tapi ia tersenyum hangat menyisakan kegetiran aneh dalam hatiku. Aku menyesal karena pertemuan awal kami hanya sekedar pertemuan saja tanpa ada tautan waktu SMA dulu. Sore itu pula, aku merasa hatiku yang ditutup oleh kegelapan seakan diguyur oleh hujan ketenangan dan kebahagiaan. Air mataku menetes. Lenyap sudah pikiran negatifku terhadap dunia ini, dan juga terhadap tanteku.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (Terjemahan Surah Al-Baqarah: 286)
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik,” (Terjemahan Surah Al-Hadid: 16),”
Saat itulah aku menyadari bahwa gelap dan menyedihkannya hidupku bukanlah disebabkan oleh masalah-masalah beruntun yang menimpaku, tetapi karena sempitnya hatiku menghadapi masalah-masalah itu. Aku tidak tahu harus berlari ke mana saat itu, dan ternyata saat itu, pintu Allah sebenarnya terbuka lebar untukku. Allah sebenarnya telah memperkenalkanku dengan mereka saat pertama kali aku melihat mereka, tetapi aku menutup mata dan tetap tenggelam dengan zona nyaman yang ku buat sendiri. “Zona nyaman,” yang sebenarnya hanyalah menambah kerasnya dan dalamnya sakit hatiku. Aku menyimak dengan seksama penuturan Arifah yang begitu dalam dan lembut yang menghancurkan kerasnya hatiku setitik demi setitik.
Sepulang pengajian, aku berbicara banyak dengannya dan mulai rutin mengikuti pengajian bersama tanteku. Walaupun bersama ibu-ibu, aku tetap merasa nyaman. Kata Arifah kalau kita diterima di kampus, kajian seperti ini juga ada khusus untuk mahasiswa. Akhirnya, kami terus bersama hingga masa SNMPTN berakhir dan Alhamdulillah kami berdua lulus di fakultas yang kami harapkan. Aku lulus di fakultas kedokteran, ia lulus di fakultas Sastra Arab. Mungkin karena semenjak itu, aku benar-benar mulai rajin belajar. Hari-hariku berubah setelah hari itu. Aku yang tidak pernah menyentuh mushaf Al-Qur’an mulai membuka dan berusaha membacanya.
Arifah dengan senang hati mengajarkanku walaupun kesibukan dan jadwal kami berseberangan tapi ia akan datang ke rumah tanteku untuk mengajarku. Aku mulai rajin salat, bukan hanya salat wajib tapi juga sunnah. Aku mulai mengerti tentang Islam dan kebencianku terhadap orangtuaku pun sedikit demi sedikit memudar. Semenjak tinggal di rumah tante, tiap akhir pekan mereka akan menjengukku. Kata-kata mereka masih ketus dan masih sering memarahiku, tapi, mengingat Arifah, aku masih bersyukur aku masih bersama mereka. Mungkin, mereka juga sudah merasakan perubahan pada diriku, sedikit-demi-sedikit perbincangan kami pun mulai ‘normal’.
Memang membutuhkan waktu yang lama, bahkan sampai hari kelulusanku dan setelah menjalani koAs baru aku merasakan kehidupan “normal,” bersama orangtuaku. Semenjak mengenal Islam, aku sudah sering memanggil “ibu,” dan “ayah,” serta berusaha tersenyum dan mengajak mereka bercanda. Aku bersyukur kepada Allah karena telah menunjukkanku jalan cahaya ini. Bukan hanya mengubahku, tetapi juga mengubah lingkunganku. Veni ku ketahui telah meninggal bunuh diri sepekan setelah pengumuman kelulusan. Aku merasa bersalah sebenarnya, tapi kini aku hanya bisa mendoakan kebaikan untuknya. Sedangkan 2 teman gengku yang lain, aku tidak tahu keberadaannya, tapi semoga Allah juga memberikan mereka hidayah.
Hijrah, itu namaku, dan itu pula jalan yang telah mengubahku. Dari gelap dan sempitnya dunia menuju cahaya dan luasnya samudera kebahagiaan dalam Islam. Semoga Allah memberiku keistiqomahan. Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”
Cerpen Karangan: Cerita Za

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com