Selasa, 07 Juni 2016

[CERPEN] Cahaya Hati

0

Pikiranku penuh, hatiku gundah. Ah, seperti biasanya, menyebalkan sekali pagi ini. Namun sayang, alam seolah tidak peduli dengan perasaan hatiku yang sedang kacau. Ia malah asyik bersenang-senang, melukis panorama menakjubkan. Tidak bisakah ia sedikit mengerti dan turut berduka? Hujan rintik-rintik sebentar misalnya, sehingga bisa membuatku basah dan sedikit tenang. Tapi mengesalkan sekali, sepertinya hal itu tidak akan terjadi karena hari ini ia terlihat sangat cerah. Tuk! Ini sudah batu kesepuluh yang ku tendang pagi ini.
“Aaahh tidak bisakah mereka memahami perasaanku? Aku lelah melihat mereka bertengkar!! Tuhan, kalau memang benar Kau baik, tidak bisakah Engkau mendamaikan mereka sehari saja? Tidak bisakah Kau–”
“Apa yang sedang kamu lakukan?” Ucapanku terhenti karena tiba-tiba bahuku disentuh seseorang. Yang membuatku teramat kesal adalah, ia telah membuatku berhenti bicara pada Tuhan. Bagaimana kalau doaku kali ini tidak dikabulkan lagi? Aku ingin sekali doa yang selalu ku haturkan setiap pagi ini terkabul sekali saja. Ku toleh ia sebentar dengan tatapan tajam.
“Apa urusannya denganmu?” kataku ketus sambil terus berjalan.
“Eem, perkenalkan, namaku Kiana. Baju seragam kita sama, jadi ku rasa kita satu sekolah. Aku anak baru, pindahan dari kota sebelah. Siapa namamu? Kelas berapa? Aah, tertera di bedge kelasmu, kamu kelas 11, ya? Berarti kita sama! Aku harap kita sekelas di sekolah kita nanti,” ocehnya riang tanpa memedulikan air mukaku yang semakin masam.
Apa-apaan ini, sok kenal sekali dia. Bahkan teman sekelasku saja sedikit enggan menyapaku -karena takut padaku- tapi kenapa dia berani sekali?
“Oh ya? Sayangnya aku justru tidak berharap seperti itu,” ucapku lagi-lagi ketus, lalu berjalan cepat menghindarinya.
“Hei, tunggu! Tidak bisakah kita berjalan bersama?” teriaknya seraya berusaha menyamakan langkahnya agar bisa jalan di sebelahku.
Ish, mengerikan sekali, anak ini ingin berjalan denganku? Cari mati rupanya. Ku percepat langkahku supaya ia tidak bisa menyusul, hingga membuat rambut sepunggungku berkibar-kibar. Awalnya aku senang karena untuk beberapa menit ia tidak ku lihat ada di dekatku, namun 5 detik kemudian ku lihat ia sudah di sebelahku lalu jalan dengan pelan dengan napas tersengal.
“Larimu cepat sekali, hingga aku sulit menyusulmu,” ujarnya sedikit tersendat karena belum mengatur napasnya. Dasar payah, lari apanya, baru segitu saja sudah kelelahan.
“Ah, aku tidak akan mengganggumu, aku hanya ingin berkata, semoga hari ini menyenangkan bagimu, dan semoga Tuhan selalu memberikan kemudahan di setiap urusanmu,” ucapnya dengan intonasi yang mulai normal, tidak tersendat lagi. Kemudian ia mengulas senyum yang lebar dan berlari kecil mendahului langkahku, hingga membuat kerudungnya bergoyang mengikuti gerakannya. Aku hanya berdecak kecil sambil terus berdoa sepanjang perjalanan menuju ke sekolah, semoga murid baru yang aneh itu tidak menjadi teman sekelasku.

“Selamat pagi anak-anak. Sebelum berdoa bersama, Bapak ingin kalian tenang sebentar, karena hari ini kalian akan mendapat teman baru. Ya, silahkan masuk. Perkenalkan dirimu.” Deg! Jantungku serasa berhenti sebentar. Tidak. Tidak mungkin ia akan jadi teman sekelasku. Mungkin ada 2 murid pindahan di sekolah ini, jadi itu tidak mungkin dia, bisa saja murid baru yang lain. Namun yang ku lihat selanjutnya adalah wajah riangnya yang menyapa seisi kelasku. Tuhan, apa salahku sehingga Kau tidak pernah mengabulkan doaku?
“Assalamu’alaikum, selamat pagi semuanya. Nama saya Avionne Kiana, saya murid pindahan dari kota sebelah. Saya sangat senang bisa bersekolah di sini, mohon bantuannya!” ucapnya sopan dengan diiringi senyuman lebar.
“Baik, Kiana, silahkan duduk di samping.” Oh Tuhan, ku mohon jangan di sebelahku, ku mohon, ku mohon, ku mohon. Doaku dalam hati sambil memejamkan mataku rapat-rapat. “Mm, Lia, kursi sebelahmu kosong, kan? Silahkan Kiana duduk di samping Lia,” ujar Pak Budi seraya menunjuk kursi Lia, anak yang duduk di depanku.
Seketika perasaanku lega. Sebenarnya kursi di sebelahnya itu kursiku, hanya saja aku pindah di belakang, karena, mm karena rasanya lebih enak saja jika duduk sendirian. Ah setidaknya walaupun jarang, Tuhan masih pernah mengabulkan doaku. “Baik, mari kita mulai berdoa. Ketua kelas, ayo pimpin teman-temanmu untuk berdoa sebelum memulai pelajaran.” Dan kemudian pelajaran fisika dan sejarah pun berlalu dengan menyenangkan karena lagi-lagi seisi kelas seolah tidak merasa bahwa aku ada.

Jam istirahat tinggal 5 menit. Sekembalinya dari kantin ke kelas, aku melihat anak baru itu masih di kelas, sendirian. Apa ia tidak ke kantin? Ah, tangannya seperti memegang sesuatu, pandangannya pun tertuju hanya pada benda itu. Sedang memegang apa, sih? Ah sudahlah, bukan urusanku. Ketika duduk di tempat dudukku, aku merasa ada sedikit aura yang aneh. Kenapa rasanya sangat tenang? Sepertinya biasanya biasa saja, tapi mengapa kali ini. Ah, rupanya anak baru itu tengah membaca Al-Qur’an. Suaranya pelan sekali, tapi masih bisa ditangkap oleh gendang telingaku.
Samar-samar masih ku dengar suaranya yang menenangkan. Bacaannya lancar sekali meski tanpa nada meliuk-liuk seperti di video-video rohani. Entah kenapa sangat menyenangkan mendengarnya mengaji. Tanpa sadar perlahan ku pejamkan mataku seraya tersenyum kecil. Bel tanda istirahat telah selesai akhirnya berbunyi, disusul dengan berhentinya anak itu mengaji. Ah, kenapa sudah selesai, sih, mengajinya? Rutukku tanpa sadar sambil masih memejamkan mata. Ah, aku baru sadar, apa yang baru saja ku lakukan? Segera ku buka mataku dan membalikkan badan. Ku ambil buku pelajaran dari dalam tasku, dan meletakkannya di meja dengan tenaga lebih hingga menimbulkan debaman. Mengesalkan, apa yang baru saja ku pikirkan dan ku lakukan? Tubuh dan jiwaku mulai sedikit aneh gara-gara anak aneh itu.

Sudah hampir sebulan dia menjadi teman sekelasku, dan sudah hampir sebulan pula aku mendengar suara mengajinya setiap jam istirahat. Meskipun lama tempo mengajinya di hari Selasa, Rabu, dan Jum’at hanya sebentar karena pada 7 menit terakhir jam istirahat ia akan membuka kotak bekalnya untuk makan, entah kenapa tetap saja menyenangkan. Tak jarang pula ia menawarkan bekal makanannya padaku, yang selalu ku balas dengan acuh -malah membolak-balik buku diktat di depanku yang selalu ku jadikan alibi saat tinggal di kelas- seolah tak menganggap dia ada.
Ah, akhir-akhir ini aku semakin aneh… bahkan dua minggu terakhir aku rela tidak ke kantin dan membawa roti dari rumah hanya agar bisa mendengar suara mengajinya lebih lama, dari awal sampai akhir. Dan juga, entah kenapa batinku terasa lebih tenang. Di rumah, saat kedua kakakku bertengkar ketika orangtua kami masih di luar negeri, jika dulu aku lebih memilih menyingkir dan tidak peduli, namun kini telah beberapa kali aku mulai melerai mereka. Dan entah bagaimana, mulutku bisa mengeluarkan beberapa kalimat bijaksana yang bisa membuat mereka terdiam. Aku sendiri tidak tahu bagaimana bisa kalimat-kalimat itu meluncur dari mulutku. Bahkan, aku juga beberapa kali mulai membiasakan diri mencuci piring kotorku sendiri dan menyapu kamarku, hal yang dulu selalu dilakukan para pembantuku. Ah, aku sungguh tidak tahu ada angin apa yang berhembus di atas kepalaku hingga isinya seolah terbalik.
Seperti biasanya, hari ini aku benar-benar tinggal di kelas untuk mendengarnya mengaji, lagi. Ah, aku bahkan tidak paham dengan apa yang membuatku masih bertahan selama hampir sebulan penuh ini tetap tinggal di kelas hanya untuk mendengar suara mengajinya. Tapi entah kenapa, kali ini dia cepat sekali selesainya. Atau ini hanya perasaanku saja, ya? Apa waktu istirahat memang sudah hampir habis? Ah, ini hari selasa, sekarang dia pasti sedang memakan bekalnya. Ku buka mataku perlahan, tapi kenapa aku tidak menemukannya? Di mana dia? Perasaanku sedikit aneh ketika melihat 3 tetes darah kental di mejanya. Ku picingkan mataku, memastikan bahwa penglihatanku hanya ilusi.
“Ada apa?” ujarnya tiba-tiba. Aku heran, kapan dia datang? Ia menatapku, lalu menatap objek yang ku tatap. Seketika tubuhnya sedikit gemetar.
“Ah, i-itu, hanya mimisan biasa. Aku memang akhir-akhir ini sering mimisan,” katanya dengan gugup. Aku mendesah pelan, tak percaya.
“Kamu sakit?” tanyaku to the point. Ia terdiam sejenak, mengambil napas beberapa kali untuk menenangkan dirinya. Beberapa detik kemudian wajahnya kembali seperti biasa, terlihat riang. “Ya, leukemia.” Apa?! Sungguh, dua kata itu harusnya tak sesederhana pengucapannya. Entah kenapa seolah ada yang menikam jantungku perlahan.
“A-apa?” tanyaku masih tidak percaya. Ku sentuh rambut sepunggungku, ku rapikan ikatannya sehingga tidak lagi menatap matanya. Ah, apa-apaan ini, kenapa jadi aku yang gugup?
Ia tertawa kecil menanggapi reaksi bodohku. “Kamu percaya? Entah kenapa dari awal aku merasa kamu adalah teman pertamaku yang akan tahu hal ini.”
Ku picingkan mataku, sungguh aku belum paham benar apa maksudnya. “Reya Matalin, itu namamu, kan? Entah kenapa sejak peristiwa ketidaksengajaan kita bertemu di jalan saat hari pertama aku pindah, aku merasa kelak kita akan berteman dekat, dan kamu akan jadi orang pertama selain keluargaku dan pihak sekolah yang mengetahui penyakit ini. Aku sangat tidak menyangka bahwa itu benar-benar terjadi,” ujarnya seraya tersenyum.
Ku mainkan kedua kakiku di bawah meja. Sebenarnya ada berjuta perasaan aneh yang tidak ku pahami muncul sejak topik obrolan ini bermula. “Ah, lupakan saja. Maaf, tadi aku bicara yang tidak-tidak, kamu pasti tidak mengerti, kan? Sudah lupakan, ayo kita belajar saja. Setelah ini ujian kimia, kan? Kamu percaya, nggak, aku bahkan belum belajar sama sekali karena semalam ketiduran,” katanya diikuti kekehan kecil. Lalu ia mengambil buku kimia dari tasnya, dan berbalik, duduk membelakangiku.
“Ku rasa tidak buruk,” kataku tiba-tiba, memecah hening yang telah berlalu beberapa detik. Ia berbalik, memandangku penuh tanda tanya.
“Ku rasa tidak buruk berteman dengan seorang penderita leukemia,” ucapku sedikit sarkasme. Ia masih memandangku bingung.
“Ah, dasar lola. Sudah sana belajar, jangan sampai nanti menyontek hanya karena belum belajar,” kataku ketus.
Aish, sebenarnya aku malu sekali. Ini kali pertama aku bilang ‘ingin berteman’ setelah beberapa tahun terakhir aku nyaris tidak punya teman sama sekali karena lebih memilih menyendiri. Ya, menyendiri. Membiarkan diriku sendiri tenggelam atas segala permasalahan di rumahku. Ia tertawa kecil. “Ah, ternyata dugaanku benar. Tidak ku sangka senang sekali rasanya punya teman yang sedikit ketus,” candanya. Aku hanya terdiam dengan wajah menahan malu. Lalu ia berbalik dan kembali menekuni buku kimianya.
“Emm, Kiana,” panggilku. Ia menoleh.
“Bisakah kamu mengajari aku mengaji?”
“Eh? Me-mengaji?” tanyanya ragu.
Aku mengangguk pasti.
“Memangnya kamu… em, islam?” tanyanya dengan nada sungkan. Aku melongo.
“Kamu kira aku bukan Islam?”
“Eh, maaf, aku kira kamu Kristen, hehe,” ucapnya sedikit canggung seraya menggaruk kepalanya. Aku menahan tawa.
“Kalau boleh tahu, kenapa kamu ingin belajar mengaji?” tanyanya lagi.
“Aku merasa, semenjak sering mendengarmu mengaji, hatiku sangat nyaman dan tenteram. Seolah diterangi cahaya pagi yang lembut,” jawabku sedikit berlebihan.
“Jadi kamu sering nguping aku mengaji? Aah, jadi itu alasannya akhir-akhir ini kamu jarang ke kantin? Ingin mendengar suara mengajiku yang indah nan lembut di balik alibi memegang buku-buku tebal?” ujarnya narsis. Aku bergidik geli meski penyataannya tidak salah.
“Oke, kalau begitu. Mulai kapan kamu mau belajar mengaji bersama? Di mana?”
“Mm, Hari Senin dan Kamis kamu ada acara, nggak? Pulang sekolah, di masjid sekolah saja selepas sholat duhur, gimana?”
“Boleh, boleh. Mulai besok kamis saja, ya? Untuk hari pertama, bagaimana kalau aku ajak kamu ke toko buku dulu untuk beli Al-Qur’an? Tapi sebelumnya, kita belajar lewat Qira’ati punya adikku dulu, ya. Untuk mengetahui dasar-dasar bacaannya. Nanti aku belikan, deh. Hitung-hitung buat hadiah untuk sahabat baru,” katanya panjang lebar nan penuh semangat dengan diiringi senyuman lebar, membuat kedua mata kecilnya nyaris tenggelam menjadi sabit. Aku mengangguk, tidak keberatan. Lagi pula, aku belum punya Al-Qur’an, jadi ku pikir ide itu tidak buruk. Ah, tak ku sangka bisa lebih dekat denganNya. Ku ulas senyum terbaikku. Semoga aku bisa selalu bisa mempertahankan semangat ini.
Sekarang aku paham, kenapa Ia dulu belum mengabulkan doa-doaku. Karena memang untuk meraih apa yang kita inginkan, tidak bisa instan. Kita harus berusaha dulu untuk bisa merealisasikannya. Seperti dalam masalahku misalnya, dibutuhkan ketenangan dan keteduhan hati untuk mencapainya. Dan untuk mendamaikan hati seseorang, dapat dimulai dari mendamaikan hati diri sendiri. Terima kasih telah menurunkan cahayaMu lewat kebesaran hatinya, ya Allah. Semoga Kau beri kami waktu yang panjang untuk bisa saling mengenal lebih jauh, untuk menambal kerusakan istana keimananku kembali. Amin.

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com