[CERPEN] Ku Titipkan Rindu pada Surah Ar-Rohman
Lantunan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an terdengar merdu di telinga. Bagai melodi-melodi indah yang tersusun rapi. Maghrib yang hening, membuat suasana menjadi khusyu’. Syahida. Suara indah itu, ke luar dari bibir mungil Syahida, anak dari seorang tukang bubur ayam keliling. Dia dilahirkan dan dididik menjadi anak yang religius. Sudah biasanya Syahida membaca Al-Qur’an sehabis salat maghrib, yang pasti ia baca adalah surah Ar-Rohman. Baginya surah Ar-Rohman adalah surah yang mengingatkannya pada Ibunya. Ibu Syahida telah lama meninggal, kira-kira sudah empat tahun terakhir. Saat Syahida kecil, setelah Syahida mengaji, Ibunya sering membaca surah Ar-Rohman setelah maghrib, Syahida sering berada di pangkuan Ibunya hingga Syahida terlelap tidur.
“Fabi ayyi aa laa irobbikumaa tukadz dzibaan, tabaarokas murobbika dzil jalaa li wal ikrom. Shodaqallaahul ‘adziim.” Syahida menutup Al-Qur’annya lalu mengecupnya, ia meletakkan Al-Qur’an di atas almari bajunya. Melepas mukena yang ia kenakan sejak salat maghrib tadi.
“Ayah?” Panggil Syahida sambil berjalan ke arah dapur mencari ayahnya. Dia dapati Pak Mahmud, ayahnya yang sedang membuat nasi goreng kesukaan Syahida.
“Ayah, buat nasi goreng ya?” Tanya Syahida, mata sipit yang ia miliki dipejamkannya ia mencium aroma nasi goreng buatan ayahnya itu tercium lezat memang.
“Iya, untuk makan malam kita. Sudah selesai baca Qur’an kamu, Nak?” Tanya Pak Mahmud tangannya sibuk membolak-balik nasi goreng yang ada di wajan.
“Sudah, Yah.” Tangan Syahida melingkar pada perut Ayahnya. “Yah, besok Syahida ikut jualan bubur, ya, Syahida pengen nemenin Ayah, mumpung Syahida libur.”
“Beneran?” Tanya Ayah. Syahida mengangguk.
Keesokan harinya. Suara adzan subuh mulai terdengar, Pak Mahmud telah sibuk mempersiapkan bubur ayam yang akan ia jual. Pak Mahmud berjalan ke kamar Syahida. Syahida masih terlelap tidur, matanya masih tertutup rapat. “Syahida, bangun Nak, sudah subuh, salat subuh jama’ah yuk,” Syahida mengusap-usap matanya, memaksa untuk membuka matanya. Syahida berjalan untuk mengambil air wudlu. Mereka pun salat berjama’ah. Usai berdoa, Syahida menyandarkan kepalanya di pundak Ayahnya.
“Ayah, besok sore kita ke makam Ibu, ya, Syahida kangen sama Ibu.” Ujar Syahida, air matanya mulai membumbung di mata. “Iya, baca surah kesukaanmu itu, Ayah juga akan membacanya. Baca sama-sama ya.”
“Ayah juga kangen sama Ibu?”
“Ayah kangeeenn sekali sama Ibu, seperti Syahida kangen sama Ibu.”
Syahida tersenyum, pipinya basah terkena air matanya. “Ya Allah, aku titipkan rinduku kepada-Mu untuk Ibu melalui surah Ar-Rohman. Ya Allah jaga Ibu, jangan biarkan Ibu sedih, Syahida kangen banget sama Ibu, kirimkan salam Syahida dan Ayah untuk Ibu, Ya Allah.” Celetuk Syahida.
Ayah tersenyum mengusap-usap punggung Syahida. Memeluknya. Lalu membaca surah Ar-Rohman bersama. “Ar-Rohman, ‘al lamal quraan, kholaqol insan, ‘al lamahul bayan.”
Mentari mulai memancarkan sinarnya, cahayanya terang menerangi segala penjuru dunia. Allahu akbar, Maha Besar Allah Sang Pencipta seluruh alam. Yang mengendalikan semua yang ada di jagad raya ini. Syahida menyibak gordyn jendela rumah lalu membuka pintu rumahnya. Matanya menyapu pemandangan lingkungan sekitar rumahnya. Rumah kecil yang terdapat di pinggir kampung dekat sawah. Bibirnya tak henti-hentinya mengucap tasbih, memuja keagungan Allah. “Ayaahh, ayo kita jualan bubur.”
“Iya, Nak, sebentar, biar Ayah menyiapkan gerobaknya dulu.” Ujar Ayah mendorong gerobak yang ia letakkan di depan rumah. Ayah mengangkat panci berisikan bubur pada gerobaknya.
Ketika semua sudah siap, mereka berangkat untuk keliling berjualan bubur ayam. Dari kampung ke kampung mereka berkeliling, lelah tak mereka hiraukan, tetesan keringat yang mengalir seakan terhapuskan oleh orang-orang yang membeli bubur ayam mereka. Kesabaran, ketabahan mereka, yang membuat mereka tegar. Mereka adalah keluarga kecil yang sederhana dengan penuh kasih sayang. Bagi Pak Mahmud, kebahagiaan Syahida adalah segalanya. Matahari yang begitu terik menggantung di langit biru nan luas. Duhur tiba, mereka berhenti di musala. Mereka salat dan melepas lelah sejenak.
“Nak, cape ya?”
“Enggak, Yah, Syahida malah seneng, bisa bantuin Ayah.” Jawab Syahida kalem, bibirnya melukiskan senyuman yang membuat hati menjadi damai.
“Ya sudah, kita salat duhur ya, setelah itu kita pulang.”
“Iya, Yah, tapi nanti sore jadi ya, ke makam Ibu.”
“Iya, Syahida sayang.”
Sedikit keras kepala memang, jika Syahida rindu pada Ibunya, dia pasti mengajak Ayahnya pergi ke makam Ibunya. Seberapa sibuknya Syahida pada tugas-tugas sekolah, jika dia merindukan sosok Ibu, dia pasti ke makam untuk melepas rindu, jika tidak ke makam, dia membaca surah kesukaannya Ar-Rohman dengan berlinang air mata, air mata tentang kerinduan pada Ibu, yang telah lama pergi meninggalkannya, untuk selamanya. Usai salat duhur, mereka pulang dengan dompet yang terisi lebih dari biasanya. Bubur ayam yang mereka jual, habis terjual. Banyak yang mengatakan, bahwa bubur ayam buatan Pak Mahmud, Ayah Syahida, memang enak dibandingkan dengan bubur ayam jualan orang lain. Tak terasa, sampailah mereka di rumah kecil tempat di mana mereka tinggal. Lepas sudah semua lelah, yang mereka rasakan. Pak Mahmud memarkirkan gerobaknya. Syahida membuka pintu rumah, lalu membuatkan kopi untuk sang Ayah.
“Nih, Yah, Syahida buatkan kopi untuk Ayah.” Kata Syahida sembari menggeletakkan gelas yang berisikan kopi hitam dengan sedikit gula di meja makan. Syahida duduk di kursi sembari menghidupkan TV kecil yang terkadang hilang gambarnya. Maklum, TV lawas dengan antena tanpa parabola.
“Terima kasih, Syahida.” Ucap Pak Mahmud menyeruput kopi buatan anak kesayangannya. “Sekarang kamu istirahat dulu, nanti kalau sudah adzan ashar, Ayah bangunkan kamu. Kita pergi ke makam Ibu.”
“Baik, Yah.”
Sore pun datang menghampiri. Setelah salat ashar, Syahida mengambil kerudung warna cokelat dari alamarinya. Syahida bersiap untuk pergi ke makam. Al-Qur’an kecil, tak lupa ia bawa.
“Sudah siap Nak?”
“Sudah, Yah,”
“Ya, sudah, ayo berangkat nunggu apa lagi?”
“Enggak naik motor, Yah?”
“Ayah lupa belum beli bensin, bensinnya habis, kita jalan kaki saja ya, deket kok.” Jelas Pak Mahmud.
“Ya udah, ayo Yah.” Tangan Syahida menggandeng tangan Ayahnya dengan erat.
Sesampai di makam, Syahida mengusap-usap batu nisan Ibunya, lalu menciumnya dengan penuh rindu. Air matanya mengalir perlahan. Begitu pula dengan Pak Mahmud. Pak Mahmud dan Syahida membersihkan makamnya lalu menaburkan kembang di makam. Tidak lupa, mereka juga membaca surah Yasin, Syahida juga membaca surah Ar-Rohman dan mengirimkan do’a. Air mata Syahida mengalir tak henti-hentinya ketika membaca surah Ar-Rohman, apalagi ketika ia mendo’akan Ibunya. Air matanya semakin deras.
“Ya Allah, Syahida sangat merindukan Ibu, Syahida ingin sekali memeluk Ibu, mencium Ibu, beri Syahida kesempatan lima menit saja Syahida bersama Ibu, biarkan rindu yang Syahida pendam selama bertahun-tahun lepas sudah. Rindu yang Syahida selalu ungkapkan dengan membaca ayat-ayat indahmu surah Ar-Rohman, itu sudah membuatku bahagia, namun, biarkan kebahagiaan itu menjadi sempurna jika Engkau pertemukan aku dengan Ibu. Ya Allah, berikan tempat yang terbaik kepada Ibu, tempat sebaik-baik tempat, terimalah semua amal ibadahnya, ampunilah dosa-dosanya, kirimkan salam rinduku untuk Ibu, dengan surah Ar-Rohman yang selalu aku baca, Ya Allah, amiiinn.”
Cerpen Karangan: Fifi Dzakiyatul Mustafidah
0 komentar:
Posting Komentar