Orang-orang bilang, masa SMA adalah masa-masa keemasan. Masa itu
pula, orang-orang akan memilih lingkungan mana yang sreg dengan hatinya
dan menjadikannya zona nyaman. Ya, mungkin begitu. Tetapi bagiku,
masa-masa SMA tidaklah sebegitu “Wah,” tetapi menjadi awal pertemuan
yang cukup ku sesalkan.
Masa kanak-kanak.
“Hijrah, Nak?” Ibu guru membangunkanku yang terlelap di meja saat jam pelajaran.
“Kamu sakit, Nak?” lanjutnya setelah melihatku mengucek-ngucek mata.
“Tidak, Bu,” Jawabku singkat.
“Ya, sudah, kamu ke UKS, bisa?”
Tanpa menjawab, aku langsung berlalu ke luar kelas seperti yang ibu
guru minta. Tapi, aku tidak ke UKS di lantai dasar sekolah, aku pergi ke
lantai paling atas dan mencari tempat sepi. Aku ingin memejamkan mata,
tetapi bayangan-bayangan ketakutan menyeruak dari ingatanku semalam.
Namaku, Hijrah. Saat ini umurku 7 tahun 5 bulan dan baru 3 bulan lalu
aku masuk Sekolah Dasar di kota kelahiranku. Aku tinggal di daerah
pantai di Kota Makassar, sebuah kota yang cukup ramai oleh turis dan
juga kendaraan, terutama jika hari Minggu, orang-orang sangat banyak
berada di sekitar pantai. Keluargaku cukup beruang, ibuku adalah seorang
dokter dan ayahku adalah seorang pengusaha. Aku tinggal di sebuah rumah
yang bisa dibilang cukup besar dan menempuh pendidikan di sekolah
unggulan di kotaku.
Tapi, dengan semua kenyataan yang seakan indah itu, hidupku sangat
menyedihkan. Aku jarang bersama ayah dan ibu. Sekalinya mereka bersama
di rumah, yang ada hanya pertengkaran hebat. Saat itu terjadi, aku hanya
akan bersembunyi di sela-sela pojok rumah. Sepertinya, teman pun
bukanlah sesuatu hal yang baik untukku. Bermain bagi normalnya anak-anak
lain, tidaklah ada dalam pikiranku. Aku membenci mereka yang bisa
bermain dengan riang di sekitar rumahku.
Hingga, masa itu tiba. Kemarin, pamanku datang. Seorang paman yang
sedang sakit, kata mereka, dan akan tinggal bersama kami. Di situlah
masa-masa terburukku dimulai. Paman itu memiliki penyakit kulit tetapi
masih bisa berjalan-jalan sesekali, dan tiap malam ia akan
berteriak-teriak dengan keras. Hal itu membuatku tidak bisa tidur. Aku
selalu teringat pertengkaran hebat, lengkingan suara ibu, dan teriakan
paman itu. Akhirnya, aku hanya bisa tidur di kelas sebelum Bu Guru
membangunkanku. Aku tidak suka di UKS, aku tidak suka bau obat yang
seperti di rumah sakit. Karena dulu ibu sering membawaku ke sana dan aku
akan melihat hal-hal yang menyedihkan.
Riing.. riing.. riing. Bel pulang sekolah membangunkanku. Sebenarnya
aku malas pulang, tapi di sekolah pun aku merasa kurang nyaman, melihat
anak-anak lain akan berlarian ke luar dengan tawa yang menjengkelkan.
Aku kembali ke kelas untuk mengambil tasku, ternyata Bu Guru masih di
sana.
“Hijrah, kamu tidak ke UKS, ya?” Tanya ibu guru lembut. Aku diam.
“Kenapa, Hijrah? Kamu ada yang jemput?” lanjutnya. Aku menggeleng.
“Mau Ibu antar pulang?” Aku membelalak lalu menggeleng.
“Tidak, Bu, tidak usah. Aku pulang dulu, Bu,” jawabku sambil berlalu.
Untuk pulang, aku menggunakan becak. Aku masuk ke rumah dan mencari pembantu yang biasanya datang dari pagi hingga sore.
“Bibi! Bibi!” Panggilku.
“BERISIK!!” Tiba-tiba suara paman mengagetkanku, ia berada di belakangku.
“Mana Bibi?” tanyaku perlahan.
“Sudah MATI mungkin! Jangan Berisik! Awas kalau berisik!” Teriaknya dan
berlalu kembali ke kamarnya meninggalkanku dalam kondisi kesal. Baru aku
tahu, Bibi sedang pulang kampung.
Hari-hari berikutnya sama berlalu sama seperti itu, sepulang sekolah,
pamanku akan marah-marah padaku sampai memukulku yang sedang bermain
jika aku terlampau berisik menurutnya. Malamnya, orangtuaku yang akan
marah-marah entah karena aku, atau karena mereka sedang bertengkar, lalu
pamanku akan berteriak-teriak lagi. Tidak jarang, ia mencekikku tetapi
Bibi akan datang. Syukurlah Bibi hanya pulang sehari waktu itu.
Akhirnya, di sekolah, aku akan selalu mem-bully beberapa orang teman
sebagai pelampiasan. Aku benci dan geram.
Masa SMA, aku bertemu hal berbeda.
Bulan September 2008, aku akhirnya diterima di sebuah SMA yang terkenal
dengan hedonismenya. Ya, tidak heran sebab orangtuaku kaya. Masuk ke
sekolah ini, dengan wajah yang bisa dibilang cantik, aku menarik
perhatian beberapa kakak kelas, juga teman seangkatan. Aku memutuskan
masuk ekskul tari dan bergabung bersama teman-teman yang suka hura-hura.
Bisa dibilang, inilah zona nyamanku. Zona nyaman untuk seorang bully
sepertiku dan tidak perlu berpura-pura. Hari-hari aku isi dengan have
fun. Gonta-ganti pacar hanya untuk mendapatkan tukang antar.
Saat kelas 5 SD, paman yang aku ceritakan telah meninggal sehingga
rutinitas rumah kembali. Dan sejak SMP, aku sudah mulai terbiasa
membangkang kepada kedua orangtuaku. Saat masuk SMA, orangtuaku
memasukkanku ke tempat les dengan harapan nilaiku yang anjlok bisa
berubah tapi sayangnya aku tidak pernah menghadiri kelasnya. Biar saja,
pikirku. Toh mereka juga tidak tahu. Daripada ke tempat les, aku lebih
memilih ke mall hanya untuk nongkrong bersama teman-teman atau pacarku
hingga malam. Saat pulang ke rumah, ternyata ibu masih menungguku dengan
wajah masam.
“Dari mana?!” Suaranya meninggi.
“Dari tempat les!” Aku menyangkal dengan nada yang tidak kalah tinggi.
“Tempat les mana? Saya barusan dari sana sama Tantemu! FO-nya bilang kau tidak pernah masuk!”
“FO-nya tidak tahu saya yang mana!”
“Saya lihat absenmu! Hanya satu yang namanya sama dengan namamu!”
“Nda tahu deh! Saya Cape!” aku menutup jawaban itu dan langsung berlari
ke kamar di lantai 2, sedang ibu masih saja berteriak-teriak marah di
lantai bawah.
Aku melempar tasku, membuang diri di atas tempat tidur. Tatapanku
gamang, pikiranku melayang. Aku sudah lupa, kapan terakhir kali aku
memanggil wanita itu ‘ibu’. Atau kapan aku tertawa bersamanya. Yang aku
tahu, aku lelah dan hanya ingin membenamkan diriku dalam hura-hura.
Tapi, bagaimanapun, aku tidak memakai nark*ba atau free s*x. Setidaknya
untuk diriku, aku masih tahu batas. Walaupun, hal seperti itu tidaklah
terlalu asing bagiku.
Tahun kedua aku di SMA, rasanya dunia ini memang hanya berputar-putar
di tempat dan kondisi yang sama. Bagiku, dunia hanyalah pilihan, “Jika
kau tidak ingin terbunuh oleh rasa sakit, hura-hura adalah jalan
menemukan kesenangan,” Walaupun aku tahu bahwa agamaku adalah Islam, aku
sama sekali tidak menyentuh pemahaman tentangnya. Dunia ini sempit
dalam pandanganku sehingga menyempitkan pula pola pikirku.
Suatu waktu, aku melihat mereka, entahlah antara senior, junior atau
seangkatan denganku. Mereka berbeda, aku jarang melihat gadis dengan
jilbab yang menjulur panjang menutupi dada ke bawah. Wajar aku jarang
melihat mereka, sekolah ini cukup besar dan bagian yang sering aku lalui
hanyalah kelas dan kantin bersama teman segeng-ku. Tapi, aku tidak
begitu peduli. Mereka saling bercakap-cakap dan tersenyum. Jujur saja,
ada nuansa berbeda yang mereka pancarkan yang seakan menunjukkan ada
dunia berbeda di luar sana. Tapi, seperti yang ku bilang, aku sudah
menemukan zona nyamanku.
Tahun berikutnya hingga menjelang kelulusanku, aku tetap berada di
lingkungan yang sama. Menari (dance), hura-hura, gonta-ganti pacar
mencari cinta, hanya bertengkar dengan orangtuaku saja yang sudah agak
jarang karena aku akan memilih pulang larut. Tapi, masa-masa terakhir
ini, kehadiran ‘mereka’ yang aku ceritakan sebelumnya, juga telah
mengambil bagian dari perhatianku walaupun bukan perhatian yang besar.
Setidaknya, aku tahu bahwa mereka adalah anak-anak yang tergabung di
rohis. Aku juga baru tahu, bahwa rohis itu adalah ekskul yang bergerak
dalam bidang keagamaan. Tapi, duniaku dan mereka berbeda sehingga aku
merasa malas untuk berinteraksi dengan mereka.
Menjelang hari kelulusan, sebuah insiden membuka mataku tentang arti sebuah pertemanan.
Sebuah Insiden.
Hari itu, aku pergi ke mall bersama dengan teman segeng-ku seperti
biasanya. Kami bercengkerama dan bersenang-senang, berbelanja, dan ke
karaoke sampai larut seperti biasanya. Lalu, aku pulang. Tiba di rumah,
aku langsung ke kamar dan membongkar isi tasku untuk ku masukkan ke tas
lain yang akan ku gunakan besok. Dompetku hilang. Aku mencari-carinya,
tapi tak dapat ku temukan. Aku tidak perlu membayar saat pulang karena
teman-temanku yang mengantarku pulang. Aku kelimpungan. Ini masih
awal-awal bulan, sedangkan ibuku hanya mentransferkan uang di tanggal 1
tiap bulan. Oh tunggu, bukankah aku hanya mengambil seperempat saja dari
rekeningku? Mudah-mudahan besok aku ke Bank, uang di rekeningku masih
aman.
Esoknya aku tidak ke sekolah, aku pergi ke Bank untuk melaporkan
ATM-ku yang kecurian. Tapi, ternyata uang dalam rekening itu sudah
diambil semua dan hanya menyisakan nominal minimum untuk Bank. Kakiku
lemas. Bagaimana aku akan hidup sebulan ini? Oh, tunggu, mungkin aku
bisa pinjam dulu dengan Veni, Rita, atau Dean. Pikirku. Aku menelepon
mereka di jam pulang sekolah meminta mereka berbaik hati meminjamiku
uang setelah ku ceritakan kejadian itu. Mereka bersedia. Syukurlah, aku
bernapas lega. Esok harinya, aku ke sekolah dan berkumpul kembali
bersama gengku seperti biasa. Kali ini mereka membayarkanku makan dan
meminjamiku uang untuk pulang dan pergi sekolah. Kami akan
bersenang-senang sepulang sekolah masih seperti biasa. Tapi, hari itu
ada yang berbeda dari percakapan kami.
“Eh, jre (panggilan mereka untukku), mau kerja sambilan gak? kan kamu
baru aja kehilangan nih.. kerjaannya mudah banget tapi kamu bisa dapet
uang nominalnya gede!” Tanya Veni.
“Eh? Masa sih? Kerjaan apaan?”
“Gampang banget kok.. cuman nemenin om-om aja jadi pacar bayaran gitu!”
Rita dan Dean juga tampak antusias tapi perasaanku tidak enak.
“Ehm, gimana ya? Nggak usah deh. Toh bulan depan juga Ibuku bakal
transfer juga jadi aku udah bisa bayar utang ke kalian kok,” jawabku.
“Yaelah, nggak usah sok naif, Jre,” Mimik ketiga teman gengku itu berubah.
“Bukannya sok naif, tapi aku nggak mau ikut-ikutan gituan. Ehm, aku ke
toilet dulu yah,” Aku mencoba melarikan diri dari pembicaraan itu.
Apa-apaan sih mereka?
Saat kembali, mereka juga sudah kembali seperti biasa dan tidak lagi
menyinggung masalah itu. Sudah pukul 20.00 WITA, kami ke tempat karaoke
seperti biasa. Tiba-tiba,
“Eh, gimana nih?!” Veni tampak mencari-cari sesuatu di dalam tasnya.
“Kenapa, Ven?” Tanya kami bertiga serempak.
“Dompetku hilang!” kata Veni dengan nada yang tinggi.
“Kok bisa? Kamu tadi ke mana?”
“Nggak ke mana-mana, kita sama-sama terus kok,” jawab Veni.
“Ah, nggak tuh! Tadi waktu nge-pas baju, kamu jalannya sama Hijre!” ucap Rita.
Serempak mereka bertiga melihat ke arahku dan memintaku membuka tas. Aku
kebingungan. Maksudnya apa? Tapi, ternyata keberadaan dompet Veni di
tasku menjawab kebingunganku.
“Aku nggak ngambil kok!” sangkalku karena memang aku tak mengambilnya.
“Jangan karena dompet kamu hilang, dompetku kamu ambil juga, Jre!” kata Veni ketus.
“Iya, udah gitu mandang kita rendah lagi!” Rita menimpali.
“Emang kurang baik apa sih kita Jre? Kita udah minjemin uang lagi!” Dean juga menambah perihnya kata-kata mereka.
“Kamu tahu nggak isinya dompetku berapa?!”
“Untung aku sadar sekarang!”
Berada dalam kondisi seperti itu, aku tidak sadar berlari. Apa yang
terjadi denganku? Aku pulang dalam keadaan berantakan, air mata terus
saja mengalir di pipiku. Saat membuka rumah, ternyata ibu dan ayahku
berada di depan pintu. Mereka menatapku geram.
“Pakaian macam apa itu?! Mau jadi P*K kamu?” Ayahku pertama kali mengeluarkan suara.
“Itu karena kamu! Tidak pernah ngajarin dia jadinya begitu!” Ayahku menimpali kepada ibuku.
“Saya? Eh, Kamu tuh yang nggak ngajar apa-apa!” Ibuku geram. Aku terduduk.
“DIAMM!!!” teriakku menggema di seluruh rumah.
“Berani kamu teriak?!” Ayah menamparku. Aku hanya bisa berlari ke kamarku.
Bersambung
Cerpen Karangan: Cerita Za
[CERPEN] Hijrah (Part 1)
Related Posts:
Fairy Tail (フェアリーテイル) Fairy Tail (フェアリーテイル Fearī Teiru?) adalah seri manga yang dibuat dan diilustrasikan oleh Hiro Mashima. Seri ini diterbitkan di Weekly Shōnen Magazine… Read More
software applicationPerangkat lunak aplikasi (bahasa Inggris: software application) adalah suatu subkelas perangkat lunak komputer yang memanfaatkan kemampuan komputer la… Read More
KesehatanKesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pemelihara… Read More
Naruto (ナルト) Naruto (ナルト) adalah sebuah serial manga karya Masashi Kishimoto yang diadaptasi menjadi serial anime. Manga Naruto bercerita seputar kehidupan tokoh … Read More
Detektif Conan (名探偵コナン)Detektif Conan (名探偵コナン Meitantei Konan?) adalah sebuah serial manga detektif yang ditulis dan digambar oleh Gōshō Aoyama. Sejak tahun 1994 cerita ini … Read More
0 komentar:
Posting Komentar